Anak Gembala Semeti

Bukit Lancing

Bukit Lancing

rumah di puncak bukit

rumah di puncak bukit lancing

 

Musim hujan yang mengguyur di awal tahun menyulap bukit-bukit kering di pesisir selatan lombok. barisan bukit hijau sambung menyambung dari desa satu ke desa yang lain. Dari bukit di desa Gerupuk hingga Selong Belanak. Kami berjalan menaiki dan menuruni bukit di Batu Payung. Perjalanan yang melelahkan karena rombongan kami diserbu seekor kera kelaparan di puncak bukit batu payung. Seekor kera yang keluar dari semak-semak di puncak bukit.

Di bawah panasnya terik mentari, saya menuruni bukit, memandang selayang pandang Pantai Tanjung Aan. Kami hendak menuju ke sebuah perkampungan nelayan di Gerupuk. Kawasan yang sangat dikenal dengan penduduknya yang suka mencari keributan. Kampung yang sering melakukan tindakan subversif kepada pemerintah. Gerupuk sama dengan kata suka ribut. Begitu lah kata yang terpatri dalam otak saya. Istilah “suka ribut” saya dapat dari anak-anak kampung gerupuk yang berjualan kelapa di Batu Payung.Tiba di kampung Gerupuk, Kampung relatif sama dengan kampung nelayan yang lain. Tak ada keributan ataupun pertengkaran. Malah saya ditawari naik perahu. Keributan vs keramahan.

Ini yang membuatnya sedikit berbeda : penyewaan alat surfing. Rumah-rumah Nelayan sebagian di-permak menjadi homestay, café-café sederhana yang menyewakan papan surfing.

Gerupuk memang sedang dirancang untuk tujuan wisata sebagai sebuah kawasan terintegrasi. Pemerintah berusaha mengundang pengusaha-pengusaha baik perusahaan swasta maupun BUMN agar ikut memajukan kampung nelayan dan sekitarnya ini. Tujuannya satu Menggaet wisatawan yang hobby dengan dunia surfing. Lokasi surfing berada di balik daratan yang melingkar ini. untuk menuju lokasi surfing ini kita harus menyeberang menggunakan perahu nelayan yang bersandar di pesisir pantai. Kampung yang dulunya totally adalah nelayan bertransformasi menjadi guide dan berbagai profesi yang berkaitan dengan wisata.

Kampung Nelayan Gerupuk

Kampung Nelayan Gerupuk

Matahari semakin terik. Angin sepoi-sepoi menerpa wajah. Perjalanan belum berakhir. Semangat untuk mengunjungi pantai Semeti tak surut sekalipun. Kami siap menembus jalanan puluhan kilometer menuju pantai Semeti. Jalanan beraspal di tengah tengah pedesaan. Desa-desa pesisir selatan yang dulu terisolir oleh luasnya hutan dan minimnya infrastruktur sudah mulai menggeliat. Hotmix jalanan membelah di antara sawah dan bukit. Begitu kontras. Ibarat garis hitam membelah hutan.

Kerbau-kerbau berbaris rapi menepi di pinggir jalan dengan seorang pengembala yang memegang kayu kecil di tangan kanannya. saya tertegun pada sebuah bukit hijau dengan bangunan kecil mungil di puncak bukit. Saking kecilnya bangunan tersebut, saya harus memperbesarnya dengan cara melihat melalui kamera. Lensa tele 75-250 saya keluarkan. Semakin jelas lah wujud sebuah gubug sederhana yang atap-atap berwarna kecoklatan di tengah padang rumput hijau.

Hembusan angin menerpa wajah. Saya berdiri di antara hembusan dua angin tersebut. Angin laut dan angin gunung. Pantai Lancing dan Bukit Lancing. Saya berdiri jalanan beraspal yang sepi dan sunyi. Tak ada hilir mudik, hanya kumpulan kerbau-kerbau yang berlalu begitu saja.

Beberapa menit menunggu, Saya masih berdiri mematung di sini. Tak ada suara, sunyi, senyap. Ada rasa khawatir. Bagaimana kalau ada orang jahat ingin mencelakai saya, batinku. Ku alihkan wajahku pada sebuah bangunan mungil di puncak bukit itu.

Akh siapa yang hendak tinggal di puncak bukit itu. Tak ada akses ataupun jalan setapak. Hanya rerumputan hijau membentang luas. Itulah rumah yang biasanya digunakan untuk penampungan rumput-rumput yang sudah kering. Rumput menjadi bahan utama pembuatan atap-atap rumah khas Lombok yang terbuat dari bahan rumput. Rumput juga sering digunakan untuk atap gazebo atau berugak.

Saat kemarau tiba, bukit-bukit seketika menjadi primadona. Penduduk desa pun bergembira mengumpulkan rumput-rumput. Bukit-bukit digunduli hingga tak bersisa. Nampak seperti padang yang kecoklatan. Rumput-rumputnya dikumpulkan, diikat dalam satu ikatan. Rumput-rumput yang hendak dijual biasanya dijejer di pinggir jalanan Lancing.

Saat kemarau bukit-bukit yang kehijauan tergantikan oleh bukit-bukit gundul kecoklatan.

Kampung itu dikelilingi bukit-bukit hijau. Terkurung dalam barisan bukit yang membentuk setengah lingkaran. Kampung itu terdiri dari beberapa rumah. Terlihat dari jalanan menuju semeti. Di ujung sana, perbukitan hijau selalu menghiasinya. Rumput hijaunya tak seragam seperti bercak-bercak hijau muda di tengah padang ilalang. Akh bercak-bercak itu bekas-bekas bukit yang digunduli di saat musim kemarau.

Aku dan anak Gembala

Kampung Semeti yang terkurung

Kampung menuju Semeti yang terkurung

Biawak saat menuju semeti. sumber foto: wikipedia

Biawak saat menuju semeti. sumber foto: wikipedia

Teriknya matahari tak mengendorkan semakin saya dan beberapa kawan saya untuk melihat pantai semeti yang tak jauh dari pantai Mawi. Jika diurut dari selong belanak, maka pantai semeti berada di urutan ketiga setelah pantai Mawi. Jaraknya dekat tapi karena harus memutari bukit-bukit yang mengelilinginya, jarak tempuhnya lebih jauh.

Pantai Semeti berbatasan dengan samudra Hindia. Pantai berpasir putih dengan ombak yang lumayan besar membuat deretan pantai di pesisir selatan ini cocok untuk olahraga surfing. pasirnya berbentuk bulat-bulat kecil. Selong Belanak dan Mawi yang berada tak jauh dari Semeti dijadikan menu wajib untuk surfing. Selong Belanak yang pantainya relatif landai sering digunakan latihan surfing bagi yang ingin belajar surfing. Sedangkan pantai Mawi bisa disebut sebagai salah satu pusat surfing.

pengunjungnya rata-rata adalah para surfer profesional dan semuanya turis. Roda kehidupan di kedua pantai yang bersisian ini di mulai sejak pagi hingga sore hari. Menjelang malam, pantai mawi dan Semeti hanya menjadi pantai Mati dan tak berpenghuni. Sunyi, senyap sekaligus menakutkan. Kedua pantai ini sudah dimiliki para pemodal. Ntah sejak kapan kawasan yang memiliki pantai indah ini berpindah tangan ke swasta.

Di depan pantai Semeti, ada sebuah pulau kecil. Gili Anakewok namanya. Bentuknya cukup unik seperti batuan mengerucut yang diapit oleh dua batuan yang lebih besar. Panasnya terik matahari bisa menggosongkan kulit. Merehatkan badan sejenak di salah satu berugak merupakan menu wajib untuk menghindarkan dari teriknya mentari semeti. Berugak ini merupakan berugak satu-satunya yang berada di Pantai Semeti. Di kala siang, berugak ini menjadi rebutan tempat berteduh merasakan desiran angin sepoi-sepoi angin laut. Berugak adalah tempat Ishoma (istirahat, Shalat, Makan). Jangan tanya warung makan di sini. Selain itu, berugak ini sering difungsikan sebagai springbed ala nelayan di saat mereka menginap menjaring ikan di daerah semeti.

Tebing Semeti

Tebing Semeti

Gagahnya langit

Gagahnya langit

Bekal harus dipersiapkan. Botol minuman harus selalu sedia. Jangan sampai tidak membawa. Bisa-bisa kehausan setelah menikmati indahnya pantai Semeti. jangan sekali-kali mencontoh saya yang bekal minumannya sudah habis sebelum tiba di semeti. Padahal hausnya ampun-ampunan. Berjalan di pasir yang berat plus menaiki bebatuan semeti sungguh mengeringkan tenggorokan saya. Tak hanya itu, untuk pulang dari semeti, Saya harus berjalan sejauh satu kilo di bawah teriknya mentari. Seorang anak ingusan mendekati dan menawarkan minumannya kepada saya.

Mas mau minum, katanya. Akh beruntung ada bocah kecil ini, tapi saya berpikir ulang karena airnya tinggal sedikit.Buat adik aja, kataku. Udah, ambil saja kak. Saya sudah minum tadi kak, katanya sambil menyodorkan minuman ke arahku. Ya boleh terima kasih, ucap saya sambil mengambil botol minuman yang disodorkan ke saya. Bocah kecil ini namanya Agus Effendi Jayadi kelas 5 SD.

Wajahnya tegar, pembawaanya begitu riang, dan jalannya cepat. Karena jalannya yang cepat, akhirnya saya mengajak adu jalan cepat. Tak disangka, jalannya bisa menyamai saya. Agus sering membantu wisatawan dengan menjadi guide cilik dengan cara mengantar tamu-tamu yang ingin mengunjungi semeti. Tamu-tamu itu lah yang memberikan imbalan kepada Agus.

pantai Semeti

pantai Semeti

Gili Anakewok

Gili Anakewok

Anak desa dilatih untuk berjalan cepat begitu dengan agus. Agus sudah terlatih jalan cepat. saya terpaksa harus mengimbanginya dengan cara berjalan setengah berlari.

Orang tuamu dimana dek, kataku. Bapak Saya sudah meninggal kak. La trus adik tinggal sama ibu, kataku. Ngak kak saya tinggal bareng dengan paman kak.

Ibu saya menikah lagi trus sekarang tinggal di Selong mas, lanjutnya.

Agus tinggal seorang diri di rumah sederhananya. Di sebelah rumahnya ada rumah pamannya. Kegetiran hidup tidak membuat menangisi kisah hidupnya atau bermanja ria sebagaimana anak-anak seumurnya. Kegetiran hidup telah menempanya menjadi manusia yang mandiri. Dalam usia yang masih tergolong muda (12 tahun) agus sudah memiliki 3 kerbau besar dari hasilnya sendiri.

Kemiskinan, kegetiran, kurangnya kasih sayang membuat agus lebih dewasa. kesedihan hidup tidak harus bersedih. Dia menyikapi kegetiran hidup dengan cara bekerja keras. Agus sama sekali tidak ingin menampakkan kesedihannya kepada saya. Dalam obrolannya, dia selalu memberikan aura kegembiraan, Senyum tulus dan antusiasme.

Agus tidak ingin manja karena memang tak ada tempat bermanja. Dia tak ingin mengeluh. Apa yang bisa dikerjakan, kerjakan. Jangan Jadi guide cilik, ngangun 3 kerbau pun dilakoninya dengan senang hati. Agus tidak serta mendapatkan rejeki nomplok langsung mendapatkan kerbau saja. Perlu kerja keras dan ketekukan dan pantang nyerah.

Awalnya, dia memelihara anak kerbau milik orang lain. Satu tahun dua tahun pun berlalu. Dia melakoninya dengan penuh kesabaran. Karena ketekunananya lah dia akhirnya mendapatkan seekor anak kerbau dari pemilik kerbau. Satu kerbau kemudian beranak pinak hingga sekarang menjadi 3 ekor.

Perjalanan kami terhenti saat agus ditawari kelapa oleh penduduk kampung. Dia langsung didaulat menaiki pohon kelapa. Dalam sekejap dia sudah bertengger di atas pohon kelapa muda, memetiknya dan menjatuhkannya ke ladang. Dia kemudian bersama-sama petani lain berbagi kelapa segar yang baru dipetiknya. Saya pun ditawarinya. Kak mau minum, katany. Saya hanya menjawab dengan gelengan kepala walau tenggorokanku masih terasa haus.

Saya berencana mampir shalat di rumahnya. “Rumahku di sana kak, dibawah pohon besar itu”. Kami berpisah. saya bergegas mengambil sepeda. Agus bergegas bawa kerbau. Dalam sekejap agus sudah melesat ke sela-sela sawah.

Sebuah gubug sederhana terbuat dari bedeg yang tak terawat. Gubug untuk berteduh dari derasnya hujan dan teriknya mentari. Sebuah gubug yang sangat sederhana dan tak berperabot lengkap. di depan rumahnya, ada sebuah berugak (langgar) sederhana -tempat bercengkrama ala sasak. Agus datang dengan membawa seorang wanita seumurannya. Saya langsung dipersilakan untuk mengambil air wudhu yang ada di samping berugaknya.

Haus dibawah teriknya mentari

Haus dibawah teriknya mentari

Agus dan rumahnya

Agus dan rumahnya

Aku pun disuruhnya shalat di dalam rumah sederhananya. Sebuah sajadah lusuh dihamparkan di atas tanah liat. Bau pesing melintas saja masuk ke dalam hidung. saya memandangi isi rumah yang berupa tumpukan-tumpukan yang diselimuti debu. Sederhana.

Shalat pun ditegakkan di rumah anak yatim doa pun ku panjatkan. “ya Allah, berkatilah pemilik rumah ini.” Di dalam rumah ini, saya menemukan kepolosan dan ketulusan.

Selesai shalat, saya langsung diajaknya berkeliling di sekitar pekarangan rumahnya. Wajahnya yang selalu riang dengan senang hati menunjukkan seisi pekarangannya. ditunjukkannya kandang terbuka yang penuh kubangan lumpur yang berada di depan rumah pamannya, diperlihatkannya dapur terbuka yang berada di samping rumahnya. Semua dalam kesederhanaan dan kebersahajaan.

Sang anak Gembala

Sang anak Gembala

Melihat riangnya agus saya jadi teringat sebuah lagu karya A.T Mahmud

Aku adalah anak gembala
Selalu riang serta gembira
Karena aku senang bekerja
Tak pernah malas ataupun lengah

Tralala la la la la..
Tralala la la la la la la..
Tralala la la la la…
Tralala la la la la la la..

Setiap hari kubawa ternak
ke padang rumput di kaki bukit
rumputnya hijau subur dan banyak
ternakku makan tak pernah s’dikit

Tralala la la la la..
Tralala la la la la la la..
Tralala la la la la…
Tralala la la la la la la..

Polos, ceria dan bersemangat. Itu lah karakter yang saya liat dalam diri Agus. Bahkan saat saya hendak memfoto dirinya bersama kerbau, dia melepas baju dan menaiki kerbaunya dengan polosnya. Bahkan, dia melakukan berbagai macam gaya dan atraksi diatas seekor kerbau itu. Akh saya tertawa dibuatnya. wajah cerianya tak menandakan bahwa dia hidup sebatangkara.

Kak kapan ke sini lagi, katanya saat saya hendak meninggalkan rumahnya. Mungkin dia seneng ada temen mainnya. Setidaknya ada yang moto saat menggembala kerbau. Ternyata kebahagiaan itu begitu sederhana. Cantiknya pantai semeti menjadi tak berarti bagi saya. Bertemu dengan agus sang anak gembala itu lah kebahagiaan yang sebenarnya. Sungguh beruntung saya bisa bertemu dengan agus.

Ayo kak kapan ke sini, ucapnya lagi menunggu jawaban kepastian dari saya. Minggu besok kak?… ibanya setengah berharap. wahhh ngak lah dek…kapan-kapan kalau ke sini lagi, insaalloh kaka mampir, kataku. Jujur saya ingin menemaninya. Setidaknya bisa menemani kesendiriannya. Ntar kalau kakak ke sini lagi, saya ambilkan kelapa muda, katany. Kalau kaka mau sekarang, saya ambilkan sekarang kak, lanjutnya. Terima kasih dek kapan-kapan saja, kataku sambil berlalu meninggalkan agus dan gembalanya.

Kandang Kerbau

Kandang Kerbau

Agus, sang anak gembala

Agus, sang anak gembala

28 thoughts on “Anak Gembala Semeti

  1. Saya terenyuh membaca ceritamu Kang, hehehe. Saya mengapresiasi semangat Agus yang tetap melanjutkan hidup yang buat saya cukup keras untuk anak seusianya. Tapi dia melakoninya dengan ceria. Semoga suatu saat saya bisa mampir kemari dan bertemu dengan Agus.

    Eh, dirimu kemari dengan sepeda Kang?

  2. Naksir foto Tebing Cemetinya, itu bisa diturunin sampai bawah kah?
    Tutur kata di artikel ini sungguh bikin penasaran dengan nasib anak lain di daerah ini. Agus salah satu yang bahagia dengan kesederhanaannya, yang semoga diikuti oleh anak-anak yang lain 🙂

    • oke siap kak…asal bawa oleh oleh buat si agus. kalau mau backpackeran, lombok siap menampung. ada rumah singgah lombok backpacker yang pernah dijadikan lokasi shooting My Trip My Adventure Trans TV. kemarin sempet ketemu ma masayu dan vicky. ntar kalau mas cumi dateng, kami nyambut sebagai artis ibukota juga hehe

      • Serius yaaa ??? selama ini gw males extend di lombok coz budget nya minim banget. Tapi kalo ada penampungan buat artesssss dangdut gonjreng ini maka daku siap extend disana. Tunggu kedatangan ku, kita goyang bersama 🙂

  3. beda banget sama gili tawangan, gili gili anakewok kayak segumpalan karang-karang raksasa, dan lebih keren untuk hunting foto sepertinya

Leave a comment