Hai dir, kakimu tuh hampir kena kepala Catrina, kata mbak Ifath kepada saya. saya kaget dan terbangun untuk membetulkan kembali pola tidurku. Berugak sempit berukuran 2 x 2 yang penuh sesak dengan tas-tas selempang terpaksa masih ditiduri oleh kerumunan manusia yang mengatakan dirinya Lombok Backpacker. Manusia-manusia alam yang rela berhimpitan penuh sesak dibandingkan tidur di salah satu penginapan di Gili Kondo beralaskan kasur-kasur empuk. Kami lebih memilih tidur di salah satu berugak diterpa angin laut dengan suara deburan ombak.
Pola tidur saya yang cenderung sporadis berubah menjadi “tenang”. Tenang bersama himpitan dan desakan. Saya dan kawan-kawan terbangun ketika mentari masih dalam peraduan, bersembunyi di balik pulau Sumbawa. Semburat Cahaya kuning emas menyelimuti pulau Sumbawa. beberapa orang bersuci dengan air laut yang rasanya asin. Shalat didirikan di antara tenda-tenda menghadap ke barat membelakangi semburat cahaya dengan beralaskan pasir putih yang tersamarkan.
Setelah shalat didirikan, Semua bergegas menuju ke pantai menunggu sang mentari muncul. Pantai yang biasanya nampak sepi sekarang begitu ramai oleh para penikmat petualangan yang bermalam di Gili Kondo. Merasakan ketenangan melupakan sejenak hiruk pikuk dan kepenatan. Perlahan kamera dibidikkan menangkap potongan spektrum cahaya berwarna jingga. Sebagian lain menikmati mentari terbit dengan berpose berbagai macam gaya dengan ide-ide kreatifnya. Seakan-akan tak mau semburat cahaya itu terlewatkan begitu saja tanpa ada kenangan yang berarti.
Kuning emas menyelimuti , matahari menembus cakrawala, memenuhi semesta alam. Nampak gugusan pulau Sumbawa diselimuti awan kelabu yang berbaris dari ujung ke ujung. Gugusan Pulau Mantar yang lebih dikenal dengan “Negeri di atas awan” benar-benar diselimuti awan kelabu keemasan. Gugusan pulau Kenawa pun juga diselimuti oleh awan-awan berwarna keemasan biasan dari sang mentari pagi. Dalam diam ku berharap suatu saat nanti saya ingin menginjakkan kaki ke dua pulau yang sudah tersohor di NTB itu.
Acara penungguan mentari telah usai. Pengunjung pun berhamburan kembali ke tenda masing-masing. Semua beraktivitas dengan kegiatan masing-masing. Sepagi ini, Catrina dan Nana sudah keluar membawa perlengkapan snorkeling. Mereka berdua ingin menikmati keindahan taman bawah laut Gili Kondo sepagi mungkin sebelum yang lain ikut menikmatinya. Sebagian yang lain berkumpul di depan tenda bealaskan pasir putih. Bercengkrama bersama melepaskan kepenetan pekerjaan. Bahagia itu begitu sederhana. Duduk bersimpuh di atas pasir-pasir gili Kondo itu sepotong kebahagiaan, menikmati aroma semerbak kopi dan menimum kopi hangat yang menembus lorong kerongkongan itu secuil kebahagiaan yang lain. Sajian seduhan kopi dan teh penghangat badan dengan terpaan angin laut kondo seakan memberikan kebahagiaan tersendiri. Bersama kawan-kawan sesama backpacker. Dalam hati ku berpikir alamak kapan lagi saya merasakan kebebasan ini lagi. hanya anak-anak pulau yang bisa merasakan suasana seperti ini setiap hari tanpa adanya batasan waktu seperti kami-kami para backpacker.
Perutku mules dan mulai melilit. Ku berlari ke ujung selatan pulau menuju penginapan yang masih coba bertahan setelah pengelolaanya diberhentikan. Dulu, pulau ini masih dikelola Perama. Sekarang perijinan tidak diperpanjang lagi. Saya memasuki komplek penginapan Perama yang sudah tak terawat itu. rasa-rasanya dari puluhan pengunjung tak ada yang menginap di sini. penginapan ini hanya terdiri satu rumah khas sasak dengan bagian bawah luar dikhususkan untuk Bar sederhana khas café barat. Bar berukuran setengah lingkaran itu tak ada pengunjung. hanya seorang penunggu hotel yang selalu setia menunggu. Seorang penunggu hotel yang sedang menyapu menunjukkan saya sebuah kamar kecil yang berada di luar hotel. Pagi ini saya tak mandi, mungkin begitu juga dengan kawan-kawanku. Saya hanya sikat pagi dengan air air asin yang membuat mulutku semakin kaku. Baru kali ini saya merasakan sikat gigi dengan air laut.
Matahari semakin meninggi, petualagan ke beberapa pulau yang direncanakan oleh rombongan masih harus menunggu pak Jefry, sang pemilik kapal. Kawan-kawanku sudah hampir semuanya nyebur mencari hamparan terumbu karang firdauzi yang disajikan oleh gili Kondo. Saya sendiri. tak tahu ntah mau kemana. Akh kenapa tidak mencoba mengelilingi pulau kecil yang luasnya beberapa hektar ini saja, pikirku. Rinjani pagi ini begitu gagahnya. Nampak sempurna kegagahannya dengan awan-awan putih yang mengitarinya.
Menyusuri pantai berfosil
Menyusuri pesisir pantai ini serasa milik pribadi. Saya tak menemukan siapa pun selama saya mengelilingi pulau ini. pasir-pasir putih dengan bentuk seperti bintang banyak dijumpai di pesisir barat pulau ini. kalangan akademisi menduga ini adalah sejenis fossil yang terbawa oleh gelombang laut hingga terhempas bersama dengan terumbu karang-terumbu karang. Pasir berbentuk bintang ini hanya banyak di jumpai di Bali dan Lombok, dan Flores. pasir bintang ini banyak dijumpai di pesisir pantai yang terumbu karangnya masih terawat dengan baik termasuk di kawasan Gili Kondo ini. Fosil ini sering disebut Baculogypsina sphaerulata dan Baculogypsinoides spinosus atau Schlumbergerella-floresiana. Akh daripada bingung coba baca terus kelanjutan dari tulisan ini.
“Sebagaimana penelitian yang dilakukan Adisaputra pada tahun 1991, dalam tulisannya mengenai Pantai Benoa Bali, mengungkapkan adanya cangkang fosil Schlumbergerella floresiana yang telah diduga sebagai “pasir putih” tersebut, karena fosil ini mempunyai ukuran butir pasir dari medium sampai sangat kasar.
Di perairan ini, fosil ini berasosiasi dengan foraminifera bentos kecil lainnya seperti Amphistegina lessonii, Calcarina calcar, Tinoporus spengleri, Baculogypsina sphaerulata dan Operculina ammonoides yang kesemuanya biasa dijumpai di laut dangkal dengan kondisi laut terbuka dan air yang jernih serta sinar matahari yang cukup untuk dapat menembus ke tempat mereka hidup (Hottinger, 1983.” Dari segi ilmiah, Adisaputra telah menguraikan spesies Schlumbergerella floresiana yang banyak mendominasi Pantai Nusa Dua, Bali. Fosil ini membentuk pantai dengan jumlah total sekitar 60 % dari total sedimen. Bentuknya hampir bundar, berwarna putih susu, dengan butiran medium sampai kasar. Besarnya bisa dibandingkan dengan mata uang yang terdapat dalam.”**
“Pasir” yang sejenis berbentuk bintang juga banyak dijumpai di pantai Kecinan, Lombok Utara. Saya pernah menemukan pasir berbentuk bintang itu saat bercengkrama dengan para pemancing ikan yang sedang menikmati makan siang di bawah pepohonan.
Ada rasa takjub dengan gili kondo ini. tak hanya menikmati pulau ini, tapi saya bisa menemukan banyak hal-hal baru yang saya temukan. Ini merupakan salah satu aset yang sangat berharga.
Gagahnya gunung Rinjani terlihat jelas di balik hamparan pasir-pasir ber fosil. Kawanan padang lamun yang berwarna kehijauan tumbuh subur di pesisir barat pulau ini. kawanan kepiting kecil berlarian bersembunyi di balik bebatuan saat saya berjalan menyusuri pasir dan bebatuan Kondo.
Di ujung sana, pelabuhan kayangan dengan kawanan kapal-kapal yang siap berangkat menuju pulau Sumbawa. tak ada hiruk pikuk. Hanya dalam 15 menit saja, saya sudah mengelilingi ¾ pulaunya. Di ujung ¾ , ada sebuah pulau. Mungkin dulunya pulau ini masih satu pulau dengan Gili Kondo. Gili bagik namanya. Pepohonan rindang memenuhi pulau tak berpenghuni. Saya mencoba menyeberangi jalanan menuju gili bagik. Saya hanya ingin bertamu sejenak di pulau ini untuk kemudian pergi lagi sebelum air laut benar-benar pasang. Pagi ini, air laut belum begitu pasang. Setidaknya saya masih berjalan walau berbasah-basahan hingga lutut kaki.
Seorang nelayan tengah sibuk menghidupkan mesin perahunya di tengah laut. Terlihat sedari tadi, sang nelayan belum juga berhasil menghidupkan mesin perahunya. Keringat bercucuran keluar dari kulit eksotisnya. Sesekali sang nelayan mengelap keringatnya. Pulau Sumbawa yang diselimuti awan kelabu menjadi latar belakang sang nelayan. Sang mesin pun belum mau bersahabat dengan pemiliknya. Saya tak bisa berbuat apa-apa. Berlalu saja meninggalkannya menuju awal petualangan gili Kondo.
Saya telah salah menduga bahwa di pulau ini tak berpenghuni. Dalam perjalanan kepulangan saya, saya bertemu dengan beberapa petani di tengah-tengah pulau gili kondo. Saya melongoknya ke dalam pulau yang dikelilingi semak-semak dan rerumputan kering. Terlihat beberapa petani sibuk mencabuti rerumputan yang tumbuh di sela-sela ketela. Saya mendekati salah satu dari mereka. Pak Husni namanya. Saya berusaha menegur dan menyapanya. Dia langsung menawarkan ketela-ketela yang sudah dibelinya. Mau beli ?, katanya kepada saya. wah ngak pak.saya hanya ingin ngobrol-ngobrol dengan bapak aja, kataku.
Pak husni tinggal di tengah-tengah pulau bersama petani lainnya. tanpa listrik dan tanpa hiburan bahkan mandi pun belum tentu menggunakan air tawar. Pulau ini hanya memproduksi air asin. Air tawar harus diangkut dari pulau seberang menggunakan perahu.
Rumah Pak Husni hanyalah sebuah rumah gubuk reyotdi tengah-tengah sawah dengan berdindingkan pelepah-pelepah pohon dan beratapkan rumput-rumput kering. Cukup untuk berlindung dari rasa dingin dan panas ataupun cuaca ekstrim. Dikelilingi pematang sawah dan pasir putih berbentuk bintang dengan Gunung Rinjani tinggi menjulang menjadi wallpaper hidupnya. Sambil ngobrol pak husni sambil menggali ketela-ketela yang sudah tua. Desiran angin laut menerpa wajah pak Husni yang bermandikan keringat. Sesekali pak husni menyeka keringat yang membasahi wajah tirusnya.
Hembusan desiran angin laut menerpa perahu-perahu yang merapat di Gili Kondo. Perahu bergoyang bersama alunan ombak. Pak Jefry membawakan kami sarapan bungkus sebagai pengganjal perut kami selama dalam perjalanan nanti. Semua rombongan berangsek naik ke perahu masing-masing. Dua perahu rombongan siap melaju menembus sang laut biru menuju Gili Kapal. Hanya butuh 20 menit untuk merapat ke pulau pasir ini. pulau yang timbul tenggelam bersama air.
Saya membayangkan bagaimana suasana perairan selat alas di tahun-tahun sebelum masa kemerdekaan. Saat dimana selat alas dikuasai oleh Dai Nippon Jepang. Kapal-kapal dengan perlengkapan perang lengkap senjata pemusnah hilir mudik di selat alas hendak menerkam pihak sekutu yang siap menyerang kapan saja. Kapal jepang yang biasanya selalu hilir mudik di selat Alas itu, tiba-tiba teronggok kaku di pulau pasir tak kentara. Sang Nahkoda tak melihat bahwa pulau yang tak kentara ini begitu dangkal.
Berawal dari sejarah kapal jepang yang terdampar di pulau pasir ini sehingga pulau ini dikenal dengan sebutan Gili Kapal. Gili yang bersejarah karena berhasil membuat kapal jepang terdampar seperti paus yang terdampar di daratan.
Selat Alas begitu sangat strategis. Berada di antara dua pulau antara pulau Sumbawa dan Lombok. tersembunyi dari pelabuhan penyeberangan utama. Siap membidik musuh di balik persembunyian untuk melancarkan strategi penguasaan jepang melawan sekutu. Jepang memang ahli perang dengan strategi persembunyian. Tak jauh dari dari Gili Kapal, ada sebuah pulau yang dikelilingi pohon bakau. Dari kejauhan, pulau ini hanya barisan tanaman bakau berwarna hijau.
Dengan sistem kerja ala Romusha, jepang membangun benteng pertahanan di berbagai sisi pulau Lombok. Benteng-benteng pertahanan seperti Mercusuar dan Gua dibangun di pesisir tenggara Lombok yang langsung berbatasan dengan samudra Hindia dan pulau Sumbawa bagian selatan. Bekas-bekas Gua jepang dan Mercusuar masih bisa kita jumpai di daerah Tanjung Ringgit dan sekitar pantai Tangsi. Untuk memperkuat sistem pertahahan di sisi barat laut pulau Lombok yang langsung berbatasan dengan bali, jepang juga membangun sistem pertahanan di daerah Bangko-bangko, Lombok Barat.
Kembali ke Selat Alas dengan pulau yang dikelilingi hutan bakau. Hutan bakau ini diatur dengan sedemikian rupa. Untuk masuk ke dalam pulau, harus melewati barisan tanaman bakau, lorong-lorong pohon bakau yang diatur sedemikian rupa. Lorong-lorong tanaman bakau ini hanya bisa dilewati kawanan perahu yang kami tumpangi. Dulu, pulau ini hanyalah tanah kosong tak bertuan yang siap tergerus oleh dahsyatnya sang ombak. Jepang datang dengan menanam tanaman bakau mengelilingi pulau tak bertuan sebagai benteng pertahanan dengan sistem kerja paksa romusha.
Saat rombongan melintasi lorong-lorong bakau, perahu kami tersangkut oleh akar-akar bakau. Kami pun berhenti berusaha untuk mengankat kaki perahu bersama sang pengemudi. Dua rombongan perahu kami tertambat di lorong-lorong bukan karena akar-akar pohon tapi karena anak-anak kota yang merindukan permainan desa. Jadilah arena lorong bakau menjadi perhelatan loncat terindah dari atas perahu. Setiap orang yang melompat berusaha dengan loncatan terindah dengan bidikan kamera.
Brummmmm…… terdengar bunyi tubuh yang terhempas ke dalam air. begitu seterusnya bergantian. Ruben berenang dari perahu belakang menuju perahu depan. Bukan untuk menghindar dari serangan tentara sekutu tapi untuk mengikuti kontingen loncat indah di perahu depan. Lorong-lorong ini dulunya menjadi arena benteng pertahanan jepang saat melawan sekutu sekarang menjadi arena loncat indah para petualang.
Perjalanan dilanjutkan menuju lorong-lorong lain dengan formasi tananman bakau yang juga berbeda. Akh tak afdol rasanya menyusuri selat alas yang bertaburkan terumbu karang yang beraneka warna dan rupa tanpa menyicipi keindahan taman lautnya. Taman laut yang berbatasan dengan garis Wallace yang aneka terumbu karangnya serupa dengan terumbu karang di Autralia sana.
Bagi yang pinter free-diving. Berenang dengan berbagai macam gaya dan atraksi adalah salah satu satu keharusan saat berada di dalam air. beratraksi dengan terumbu karang-terumbu karang yang memanjakan mata, berenang bersama ikan-ikan beraneka rupa dan warna. Sedangkan saya hanya menjadi penikmat alam surgawi yang berada di dasar laut dengan bantuan pelampung yang selalu menempel di punggung.
Puas menikmati alam surgawi di selat alas di garis wallace, kami pun bergegas untuk menuju Gili Kondo untu berbilas dengan air tawar dengan membayar 10 ribu rupiah. Siang ini gili kondo benar-benar bersolek. Pasir putih berpadu dengan air laut yang bergradasi dari biru muda ke biru toscha. Pengunjung Gili Kondo mulai berdatangan. Mampir sejenak untuk sekedar menikmati sajian pasir putih dengan paduan warna biru toscha.
Sebelum pulang, kami pun berisitirahat sejenak melepas lelah, mandi dan shalat. Bercengkrama di dalam café yang sudah terurus. Obrolan-obrolan hangat dengan nyanyian-nyanyian merdu Tendou Souji berpadu dengan petikan gitar yang seirama. Catrina duduk bersama-sama. saya berfikir Catrina begitu kuatnya dengan sarapan biscuit dan makan siang pun biscuit. Tawaran kami berupa nasi tak diacuhkannya. Dia tak terbiasa dengan nasi. Mungkin dengan makanan ringan seperti biscuit, dia sudah merasa kenyang. Akh sedangkan saya dengan satu piring rasanya biasa saja. Catrina Tidur beralaskan batu-batu pasir di café. Sedangkan rombongan lain duduk sambil mendendangkan nyanyian kecapean. Saya mendekati Catrina karena penasaran dengan umurnya.
I am twenty, katanya. And you ?.
I am thirty. Dengan sedikit tidak percaya trus dia bilang
but you like twenty.
Saya hanya tersenyum ketika dibilang aku seperti umur 20an. Tak berselang berapa lama, dia melirik ke jari-jari manis yang terpasang cincin. Have u married?, katanya dengan perasaan campur aduk antara pengin tahu dan rasa heran. Ku hanya menjawab dengan anggukan kepala dan dia pun mengiyakan dengan anggukan kepala dengan perasaan heran.
Catatan kaki :