Petualangan di Selat Alas

Di antara dua tenda

Di antara dua tenda

 

Hai dir, kakimu tuh hampir kena kepala Catrina, kata mbak Ifath kepada saya. saya kaget dan terbangun untuk membetulkan kembali pola tidurku. Berugak sempit berukuran 2 x 2 yang penuh sesak dengan tas-tas selempang terpaksa masih ditiduri oleh kerumunan manusia yang mengatakan dirinya Lombok Backpacker. Manusia-manusia alam yang rela berhimpitan penuh sesak dibandingkan tidur di salah satu penginapan di Gili Kondo beralaskan kasur-kasur empuk. Kami lebih memilih tidur di salah satu berugak diterpa angin laut dengan suara deburan ombak.

Pola tidur saya yang cenderung sporadis berubah menjadi “tenang”. Tenang bersama himpitan dan desakan. Saya dan kawan-kawan terbangun ketika mentari masih dalam peraduan, bersembunyi di balik pulau Sumbawa. Semburat Cahaya kuning emas menyelimuti pulau Sumbawa. beberapa orang bersuci dengan air laut yang rasanya asin. Shalat didirikan di antara tenda-tenda menghadap ke barat membelakangi semburat cahaya dengan beralaskan pasir putih yang tersamarkan.

Setelah shalat didirikan, Semua bergegas menuju ke pantai menunggu sang mentari muncul. Pantai yang biasanya nampak sepi sekarang begitu ramai oleh para penikmat petualangan yang bermalam di Gili Kondo. Merasakan ketenangan melupakan sejenak hiruk pikuk dan kepenatan. Perlahan kamera dibidikkan menangkap potongan spektrum cahaya berwarna jingga. Sebagian lain menikmati mentari terbit dengan berpose berbagai macam gaya dengan ide-ide kreatifnya. Seakan-akan tak mau semburat cahaya itu terlewatkan begitu saja tanpa ada kenangan yang berarti.

Penunggu sang mentari pagi

Penunggu sang mentari pagi

Kuning emas menyelimuti , matahari menembus cakrawala, memenuhi semesta alam. Nampak gugusan pulau Sumbawa diselimuti awan kelabu yang berbaris dari ujung ke ujung. Gugusan Pulau Mantar yang lebih dikenal dengan “Negeri di atas awan” benar-benar diselimuti awan kelabu keemasan. Gugusan pulau Kenawa pun juga diselimuti oleh awan-awan berwarna keemasan biasan dari sang mentari pagi. Dalam diam ku berharap suatu saat nanti saya ingin menginjakkan kaki ke dua pulau yang sudah tersohor di NTB itu.

Acara penungguan mentari telah usai. Pengunjung pun berhamburan kembali ke tenda masing-masing. Semua beraktivitas dengan kegiatan masing-masing. Sepagi ini, Catrina dan Nana sudah keluar membawa perlengkapan snorkeling. Mereka berdua ingin menikmati keindahan taman bawah laut Gili Kondo sepagi mungkin sebelum yang lain ikut menikmatinya. Sebagian yang lain berkumpul di depan tenda bealaskan pasir putih. Bercengkrama bersama melepaskan kepenetan pekerjaan. Bahagia itu begitu sederhana. Duduk bersimpuh di atas pasir-pasir gili Kondo itu sepotong kebahagiaan, menikmati aroma semerbak kopi dan menimum kopi hangat yang menembus lorong kerongkongan itu secuil kebahagiaan yang lain. Sajian seduhan kopi dan teh penghangat badan dengan terpaan angin laut kondo seakan memberikan kebahagiaan tersendiri. Bersama kawan-kawan sesama backpacker. Dalam hati ku berpikir alamak kapan lagi saya merasakan kebebasan ini lagi. hanya anak-anak pulau yang bisa merasakan suasana seperti ini setiap hari tanpa adanya batasan waktu seperti kami-kami para backpacker.

berbagai cara menikmati sunrise di Gili Kondo

berbagai cara menikmati sunrise di Gili Kondo

Perutku mules dan mulai melilit. Ku berlari ke ujung selatan pulau menuju penginapan yang masih coba bertahan setelah pengelolaanya diberhentikan. Dulu, pulau ini masih dikelola Perama. Sekarang perijinan tidak diperpanjang lagi. Saya memasuki komplek penginapan Perama yang sudah tak terawat itu. rasa-rasanya dari puluhan pengunjung tak ada yang menginap di sini. penginapan ini hanya terdiri satu rumah khas sasak dengan bagian bawah luar dikhususkan untuk Bar sederhana khas café barat. Bar berukuran setengah lingkaran itu tak ada pengunjung. hanya seorang penunggu hotel yang selalu setia menunggu. Seorang penunggu hotel yang sedang menyapu menunjukkan saya sebuah kamar kecil yang berada di luar hotel. Pagi ini saya tak mandi, mungkin begitu juga dengan kawan-kawanku. Saya hanya sikat pagi dengan air air asin yang membuat mulutku semakin kaku. Baru kali ini saya merasakan sikat gigi dengan air laut.

Matahari semakin meninggi, petualagan ke beberapa pulau yang direncanakan oleh rombongan masih harus menunggu pak Jefry, sang pemilik kapal. Kawan-kawanku sudah hampir semuanya nyebur mencari hamparan terumbu karang firdauzi yang disajikan oleh gili Kondo. Saya sendiri. tak tahu ntah mau kemana. Akh kenapa tidak mencoba mengelilingi pulau kecil yang luasnya beberapa hektar ini saja, pikirku. Rinjani pagi ini begitu gagahnya. Nampak sempurna kegagahannya dengan awan-awan putih yang mengitarinya.

Menyusuri pantai berfosil

Hamparan Pasir fosil di sisi barat Gili Kondo

Hamparan Pasir fosil di sisi barat Gili Kondo

Menyusuri pesisir pantai ini serasa milik pribadi. Saya tak menemukan siapa pun selama saya mengelilingi pulau ini. pasir-pasir putih dengan bentuk seperti bintang banyak dijumpai di pesisir barat pulau ini. kalangan akademisi menduga ini adalah sejenis fossil yang terbawa oleh gelombang laut hingga terhempas bersama dengan terumbu karang-terumbu karang. Pasir berbentuk bintang ini hanya banyak di jumpai di Bali dan Lombok, dan Flores. pasir bintang ini banyak dijumpai di pesisir pantai yang terumbu karangnya masih terawat dengan baik termasuk di kawasan Gili Kondo ini. Fosil ini sering disebut Baculogypsina sphaerulata dan Baculogypsinoides spinosus atau Schlumbergerella-floresiana. Akh daripada bingung coba baca terus kelanjutan dari tulisan ini.

Sebagaimana penelitian yang dilakukan Adisaputra pada tahun 1991, dalam tulisannya mengenai Pantai Benoa Bali, mengungkapkan adanya cangkang fosil Schlumbergerella floresiana yang telah diduga sebagai “pasir putih” tersebut, karena fosil ini mempunyai ukuran butir pasir dari medium sampai sangat kasar.

Di perairan ini, fosil ini berasosiasi dengan foraminifera bentos kecil lainnya seperti Amphistegina lessonii, Calcarina calcar, Tinoporus spengleri, Baculogypsina sphaerulata dan Operculina ammonoides yang kesemuanya biasa dijumpai di laut dangkal dengan kondisi laut terbuka dan air yang jernih serta sinar matahari yang cukup untuk dapat menembus ke tempat mereka hidup (Hottinger, 1983.” Dari segi ilmiah, Adisaputra telah menguraikan spesies Schlumbergerella floresiana yang banyak mendominasi  Pantai Nusa Dua, Bali. Fosil ini membentuk pantai dengan jumlah total sekitar 60 % dari total sedimen. Bentuknya hampir bundar, berwarna putih susu, dengan butiran medium sampai kasar. Besarnya bisa dibandingkan dengan mata uang yang terdapat dalam.”** 

Pasir Baculogypsina sphaerulata diambil dari http://foraminifera.eu/single.php?no=1006541&aktion=suche

Pasir Baculogypsina sphaerulata diambil dari http://foraminifera.eu/single.php?no=1006541&aktion=suche

“Pasir” yang sejenis berbentuk bintang juga banyak dijumpai di pantai Kecinan, Lombok Utara. Saya pernah menemukan pasir berbentuk bintang itu saat bercengkrama dengan para pemancing ikan yang sedang menikmati makan siang di bawah pepohonan.

Ada rasa takjub dengan gili kondo ini. tak hanya menikmati pulau ini, tapi saya bisa menemukan banyak hal-hal baru yang saya temukan. Ini merupakan salah satu aset yang sangat berharga.

Gagahnya gunung Rinjani terlihat jelas di balik hamparan pasir-pasir ber fosil. Kawanan padang lamun yang berwarna kehijauan tumbuh subur di pesisir barat pulau ini. kawanan kepiting kecil berlarian bersembunyi di balik bebatuan saat saya berjalan menyusuri pasir dan bebatuan Kondo.

Di ujung sana, pelabuhan kayangan dengan kawanan kapal-kapal yang siap berangkat menuju pulau Sumbawa. tak ada hiruk pikuk. Hanya dalam 15 menit saja, saya sudah mengelilingi ¾ pulaunya. Di ujung ¾ , ada sebuah pulau. Mungkin dulunya pulau ini masih satu pulau dengan Gili Kondo. Gili bagik namanya. Pepohonan rindang memenuhi pulau tak berpenghuni. Saya mencoba menyeberangi jalanan menuju gili bagik. Saya hanya ingin bertamu sejenak di pulau ini untuk kemudian pergi lagi sebelum air laut benar-benar pasang. Pagi ini, air laut belum begitu pasang. Setidaknya saya masih berjalan walau berbasah-basahan hingga lutut kaki.

bercengkrama di Gili Kondo sambil menyeduh kopi

bercengkrama di Gili Kondo sambil menyeduh kopi

Seorang nelayan tengah sibuk menghidupkan mesin perahunya di tengah laut. Terlihat sedari tadi, sang nelayan belum juga berhasil menghidupkan mesin perahunya. Keringat bercucuran keluar dari kulit eksotisnya. Sesekali sang nelayan mengelap keringatnya. Pulau Sumbawa yang diselimuti awan kelabu menjadi latar belakang sang nelayan. Sang mesin pun belum mau bersahabat dengan pemiliknya. Saya tak bisa berbuat apa-apa. Berlalu saja meninggalkannya menuju awal petualangan gili Kondo.

Saya telah salah menduga bahwa di pulau ini tak berpenghuni. Dalam perjalanan kepulangan saya, saya bertemu dengan beberapa petani di tengah-tengah pulau gili kondo. Saya melongoknya ke dalam pulau yang dikelilingi semak-semak dan rerumputan kering. Terlihat beberapa petani sibuk mencabuti rerumputan yang tumbuh di sela-sela ketela. Saya mendekati salah satu dari mereka. Pak Husni namanya. Saya berusaha menegur dan menyapanya. Dia langsung menawarkan ketela-ketela yang sudah dibelinya. Mau beli ?, katanya kepada saya. wah ngak pak.saya hanya ingin ngobrol-ngobrol dengan bapak aja, kataku.

Sang Nelayan yang berusaha menghidupkan mesin perahu

Sang Nelayan yang berusaha menghidupkan mesin perahu

Pak husni tinggal di tengah-tengah pulau bersama petani lainnya. tanpa listrik dan tanpa hiburan bahkan mandi pun belum tentu menggunakan air tawar. Pulau ini hanya memproduksi air asin. Air tawar harus diangkut dari pulau seberang menggunakan perahu.

Rumah Pak Husni hanyalah sebuah rumah gubuk reyotdi tengah-tengah sawah dengan berdindingkan pelepah-pelepah pohon dan beratapkan rumput-rumput kering. Cukup untuk berlindung dari rasa dingin dan panas ataupun cuaca ekstrim. Dikelilingi pematang sawah dan pasir putih berbentuk bintang dengan Gunung Rinjani tinggi menjulang menjadi wallpaper hidupnya. Sambil ngobrol pak husni sambil menggali ketela-ketela yang sudah tua. Desiran angin laut menerpa wajah pak Husni yang bermandikan keringat. Sesekali pak husni menyeka keringat yang membasahi wajah tirusnya.

Gubuk Pas Husni

Gubuk Pas Husni

Pak Husni, Petani di Gili Kondo saat menggali ketela hasil pertaniannya

Pak Husni, Petani di Gili Kondo saat menggali ketela hasil pertaniannya

Hembusan desiran angin laut menerpa perahu-perahu yang merapat di Gili Kondo. Perahu bergoyang bersama alunan ombak. Pak Jefry membawakan kami sarapan bungkus sebagai pengganjal perut kami selama dalam perjalanan nanti. Semua rombongan berangsek naik ke perahu masing-masing. Dua perahu rombongan siap melaju menembus sang laut biru menuju Gili Kapal. Hanya butuh 20 menit untuk merapat ke pulau pasir ini. pulau yang timbul tenggelam bersama air.

Saya membayangkan bagaimana suasana perairan selat alas di tahun-tahun sebelum masa kemerdekaan. Saat dimana selat alas dikuasai oleh Dai Nippon Jepang. Kapal-kapal dengan perlengkapan perang lengkap senjata pemusnah hilir mudik di selat alas hendak menerkam pihak sekutu yang siap menyerang kapan saja. Kapal jepang yang biasanya selalu hilir mudik di selat Alas itu, tiba-tiba teronggok kaku di pulau pasir tak kentara. Sang Nahkoda tak melihat bahwa pulau yang tak kentara ini begitu dangkal.

Berawal dari sejarah kapal jepang yang terdampar di pulau pasir ini sehingga pulau ini dikenal dengan sebutan Gili Kapal. Gili yang bersejarah karena berhasil membuat kapal jepang terdampar seperti paus yang terdampar di daratan.

Negeri di atas awan sumbawa

Negeri di atas awan sumbawa

Selat Alas begitu sangat strategis. Berada di antara dua pulau antara pulau Sumbawa dan Lombok. tersembunyi dari pelabuhan penyeberangan utama. Siap membidik musuh di balik persembunyian untuk melancarkan strategi penguasaan jepang melawan sekutu. Jepang memang ahli perang dengan strategi persembunyian. Tak jauh dari dari Gili Kapal, ada sebuah pulau yang dikelilingi pohon bakau. Dari kejauhan, pulau ini hanya barisan tanaman bakau berwarna hijau.

Dengan sistem kerja ala Romusha, jepang membangun benteng pertahanan di berbagai sisi pulau Lombok. Benteng-benteng pertahanan seperti Mercusuar dan Gua dibangun di pesisir tenggara Lombok yang langsung berbatasan dengan samudra Hindia dan pulau Sumbawa bagian selatan. Bekas-bekas Gua jepang dan Mercusuar masih bisa kita jumpai di daerah Tanjung Ringgit dan sekitar pantai Tangsi. Untuk memperkuat sistem pertahahan di sisi barat laut pulau Lombok yang langsung berbatasan dengan bali, jepang juga membangun sistem pertahanan di daerah Bangko-bangko, Lombok Barat.

Kembali ke Selat Alas dengan pulau yang dikelilingi hutan bakau. Hutan bakau ini diatur dengan sedemikian rupa. Untuk masuk ke dalam pulau, harus melewati barisan tanaman bakau, lorong-lorong pohon bakau yang diatur sedemikian rupa. Lorong-lorong tanaman bakau ini hanya bisa dilewati kawanan perahu yang kami tumpangi. Dulu, pulau ini hanyalah tanah kosong tak bertuan yang siap tergerus oleh dahsyatnya sang ombak. Jepang datang dengan menanam tanaman bakau mengelilingi pulau tak bertuan sebagai benteng pertahanan dengan sistem kerja paksa romusha.

Saat rombongan melintasi lorong-lorong bakau, perahu kami tersangkut oleh akar-akar bakau. Kami pun berhenti berusaha untuk mengankat kaki perahu bersama sang pengemudi. Dua rombongan perahu kami tertambat di lorong-lorong bukan karena akar-akar pohon tapi karena anak-anak kota yang merindukan permainan desa. Jadilah arena lorong bakau menjadi perhelatan loncat terindah dari atas perahu. Setiap orang yang melompat berusaha dengan loncatan terindah dengan bidikan kamera.

Brummmmm…… terdengar bunyi tubuh yang terhempas ke dalam air. begitu seterusnya bergantian. Ruben berenang dari perahu belakang menuju perahu depan. Bukan untuk menghindar dari serangan tentara sekutu tapi untuk mengikuti kontingen loncat indah di perahu depan. Lorong-lorong ini dulunya menjadi arena benteng pertahanan jepang saat melawan sekutu sekarang menjadi arena loncat indah para petualang.

Perjalanan dilanjutkan menuju lorong-lorong lain dengan formasi tananman bakau yang juga berbeda. Akh tak afdol rasanya menyusuri selat alas yang bertaburkan terumbu karang yang beraneka warna dan rupa tanpa menyicipi keindahan taman lautnya. Taman laut yang berbatasan dengan garis Wallace yang aneka terumbu karangnya serupa dengan terumbu karang di Autralia sana.

Bagi yang pinter free-diving. Berenang dengan berbagai macam gaya dan atraksi adalah salah satu satu keharusan saat berada di dalam air. beratraksi dengan terumbu karang-terumbu karang yang memanjakan mata, berenang bersama ikan-ikan beraneka rupa dan warna. Sedangkan saya hanya menjadi penikmat alam surgawi yang berada di dasar laut dengan bantuan pelampung yang selalu menempel di punggung.

Catrina dan rekan hahaha

Catrina dan rekan hahaha

Puas menikmati alam surgawi di selat alas di garis wallace, kami pun bergegas untuk menuju Gili Kondo untu berbilas dengan air tawar dengan membayar 10 ribu rupiah. Siang ini gili kondo benar-benar bersolek. Pasir putih berpadu dengan air laut yang bergradasi dari biru muda ke biru toscha. Pengunjung Gili Kondo mulai berdatangan. Mampir sejenak untuk sekedar menikmati sajian pasir putih dengan paduan warna biru toscha.

beristirahat sejenak di Cafe Perama

beristirahat sejenak di Cafe Perama

Sebelum pulang, kami pun berisitirahat sejenak melepas lelah, mandi dan shalat. Bercengkrama di dalam café yang sudah terurus. Obrolan-obrolan hangat dengan nyanyian-nyanyian merdu Tendou Souji berpadu dengan petikan gitar yang seirama. Catrina duduk bersama-sama. saya berfikir Catrina begitu kuatnya dengan sarapan biscuit dan makan siang pun biscuit. Tawaran kami berupa nasi tak diacuhkannya. Dia tak terbiasa dengan nasi. Mungkin dengan makanan ringan seperti biscuit, dia sudah merasa kenyang. Akh sedangkan saya dengan satu piring rasanya biasa saja. Catrina Tidur beralaskan batu-batu pasir di café. Sedangkan rombongan lain duduk sambil mendendangkan nyanyian kecapean. Saya mendekati Catrina karena penasaran dengan umurnya.

Mengintip Gili Kondo

Mengintip Gili Kondo

I am twenty, katanya. And you ?.

I am thirty. Dengan sedikit tidak percaya trus dia bilang

but you like twenty.

Saya hanya tersenyum ketika dibilang aku seperti umur 20an. Tak berselang berapa lama, dia melirik ke jari-jari manis yang terpasang cincin. Have u married?, katanya dengan perasaan campur aduk antara pengin tahu dan rasa heran. Ku hanya menjawab dengan anggukan kepala dan dia pun mengiyakan dengan anggukan kepala dengan perasaan heran.

 

Catatan kaki :

** http://www.mgi.esdm.go.id/content/panorama-nan-indah-sebuah-aset-wilayah-pantai-dominasi-schlumbergerella-floresiana

 

Serunya bermalam di Gili Kondo

Siap Berangkat ke Gili Kondo

Siap Berangkat ke Gili Kondo

 

Mendengar kata camping yang terekam dalam otak saya adalah proses kembalinya manusia ke habitat awal manusia yang selalu ingin hidup bebas. Hidup di alam bebas bersahabat dengan alam. Kali ini saya bersama kawan-kawan Lombok Backpacker akan camping di perbatasan antara pulau Lombok dan pulau Sumbawa yaitu di Gili Kondo. Persiapan seadanya, tenda hanya sebagian yang membawa yang lain hanya mempersiapkan diri untuk tidur beratapkan langit. Tak kurang ada 24 orang yang akan berangkat ke Gili Kondo. Satu diantaranya adalah turis asing yang berasal dari jerman.

Sepeda motor siap menempuh perjalanan selama 2.5 jam. Menjelang sore hari, seluruh rombongan sudah merapat di bibir pantai. Tak ada lapangan parkir khusus. Hanya tanah lapang dan pepohonan duri yang difungsikan sebagai parkir. Beberapa warga kampung duduk santai di berugak-berugak pantai. Mereka duduk sambil berharap penumpang-penumpang yang ingin diantar ke pulau seberang. Sedangkan rombongan kami sudah terlebih dahulu menghubungi awak kapal yang bernama Pak Jefry.

Sambil menunggu kedatangan perahu kami, kami kumpul di salah satu berugak yang terlihat baru. Suara riuh rendah anak-anak yang asik ngobrol satu dengan yang lain di salah satu berugak. Berugak ini selain berfungsi sebagai tempat duduk, juga berfungsi sebagai mushalla. Beberapa kawan Lombok Backpacker shalat bergantian di atas berugak. Tempat wudhunya berada tak jauh dari berugak kami. Airnya agak sedikit payau tapi cukup mensucikan badan kami yang kotor.

Senja di puncak Rinjani dari selat alas

Senja di puncak Rinjani dari selat alas

Tak berapa lama perahu yang kami tunggu merapat ke bibir pantai. Pak Jefry sudah menyiapkan dua perahu untuk penumpang sebanyak 24 orang. Tiap perahu bisa menampung sebanyak 12 orang. Kami siap menyeberang selat alas di sore hari. Temaram senja berada di balik awan putih kelabu. Perahu kami siap berjalan pelan menyusuri ombak yang tenang. Terlihat Gili Kondo di kejauhan sana. Senja semakin memperindah pesona rinjani. Suara riuh rendah di atas perahu bergantikan suara kamera ceklak ceklek mengabadikan Gagahnya rinjani dibalut senja. Rinjani yang bertudungkan awan kelabu tak mengurangi keelokannya. Pak Jefry duduk santai di atas perahu sambil sesekali bertelponan ria berlatarkan rinjani.

Setelah menempuh perjalanan selama 30 menit, perahu kami merapat ke Gili Kondo- pulau terdekat dengan Rinjani di selat Alas. Semua bergegas turun dengan tujuan masing-masing. Semuanya sibuk berfoto ria. Catrina dipanggil agar ikut foto bersama. Senja di puncak Rinjani berpendar ke sekitarnya. Senja akan segera berakhir tergantikan oleh pekatnya malam di pulau kecil nan sepi.

Beberapa rombongan lain berdatangan menginjakkan kaki di Gili Kondo. Ingin merasakan pekatnya malam, ditemani api unggun yang menyala dengan langit yang bertaburkan Bintang. Awan Gelap kelabu menyelimuti.Semua bergegegas ntah ke mana. Tenda-tenda didirikan dipinggir-pinggir pantai. sebagian berteduh di bawah berugak yang berdiri agak jauh dari pinggir pantai. Kayu-kayu bakar dikumpulkan untuk membuat api unggun yang menghangatkan badan. Menyalakan sepercik cahaya di tengah gelapnya pulau tak berpenghuni.

Temaram senja Rinjani

Temaram senja Rinjani

Adzan magrib berkumandang dari salah satu Handphone yang sudah disetel waktu adzan lima waktu. Beberapa orang bergegas untuk mendirikan shalat di pinggir pantai dengan beralaskan kain parasut yang dihamparkan di bibir pantai. Berjamaah secara bergantian. Memuji kebesaran Tuhan. Tenda-tenda berbaris rapi di pinggir pantai. Beberapa orang mengelilingi api unggun yang menyala-nyala laksana oase kegelapan. Terlihat tenda-tenda lain melakukan hal yang sama-membuat api unggun dan mengelilinginya.

Berugak yang menjadi basecamp rombongan kami dipenuhi tas-tas backpack. Dalam gelap dan sunyinya, Mas Bendot, Tendou Souji dan mas Nana melantunkan lagu-lagu dengan petikan gitar yang seirama. Bendot, Tendou Souji dan Nana ditemani oleh Catrina yang berada disampingnya. Bendot sesekali menawarkan agar Catrina menyanyikan sebuah lagu yang dikuasinya. I know the song, but I don’t know the lyric, kata Catrina. Wajah-wajah terlihat samar oleh gelapnya malam. Saya coba menghidupkan senter Hp jadul saya. Saya menyorotnya satu persatu. Bendot dan Tendou Souji bernyanyi bersama dengan petikan gitar sebagai rayuan. Mereka berdua berusaha romantis se romantisnya seolah-olah ingin menarik Catrina. Catrina lebih banyak diam dan berada di antara gerombolan cowok-cowok.

beberapa lagu bahasa inggris pernah dicoba dinyanyikan oleh Tendou Souji dan Bendot. sayang, lagu-lagu itu berakhir di tengah jalan. persis seperti radio jadul yang kehabisan baterai. akh I don’t know the lyric, kata Tendou Souji dengan bahasa inggris pas-pasan-sama seperti saya. dia sebetulnya ingin membela diri dan merasa malu karena selalu diperhatikan oleh Catrina. Mas Tendou Souji ibarat bocah ingusan yang ingin dipuji oleh Catrina- si bule Jerman. Tendou Souji dan Bendot tak patah semangat untuk menggaet hati sang pujaan hati. hahhaa…ampunnn

lagu  “You’re beautiful” karangan si bule Amerika Jame Blunt keluar dari mulut manis Tendou Souji dan Bendot.

My life is brilliant.
My love is pure.
I saw an angel.
Of that I’m sure.
She smiled at me on the subway.
She was with another man.
But I won’t lose no sleep on that,
‘Cause I’ve got a plan.

You’re beautiful. You’re beautiful.
You’re beautiful, it’s true.
I saw your face in a crowded place,
And I don’t know what to do,
‘Cause I’ll never be with you.

Mbak Catrina seakan tersihir oleh petikan Gitar dan nyanyian lagu oleh Tendou dan Bendot. saat tiba di lirik Your’re beautiful. Catrina ikut menyanyikan dengan suara lirihnya. terlihat bibirnya yang bergerak-gerak mengikuti irama lagu. Tendou dan Bendot berhasil. mereka berdua berhasil membuat Catrina sedikit bernyanyi mengikuti liriknya. Catrina mungkin merasa bahwa lagu itu ditujukan untuk dirinya “you’re beautiful, it’s true”.  Catrina bernyanyi sambil tersenyum kepada Tendou dan Bendot. bibir manisnya mengulum senyum.

barangkali ada lyric yang perlu diubah agar lagu itu sesuai kondisi Tendo dan Bendot saat ini. yaitu She smiled at me on the subway diganti menjadi She smile at me on the berugak. hahahaha

Mereka berdua akhirnya berhasil memfinish-kan lagu karya james Blunt itu dengan backsound Catrina yang terdengar lirih.

Yes, she caught my eye,
As we walked on by.
She could see from my face that I was,
Flying high. [kata ini yg udah kena sensor]
Fucking high. [versi asli yg udah diganti sama kata yg diatas]
And I don’t think that I’ll see her again,
But we shared a moment that will last ’til the end.

You’re beautiful. You’re beautiful.
You’re beautiful, it’s true.
I saw your face in a crowded place,
And I don’t know what to do,
‘Cause I’ll never be with you.

You’re beautiful. You’re beautiful.
You’re beautiful, it’s true.
There must be an angel with a smile on her face,
When she thought up that I should be with you.
But it’s time to face the truth,
I will never be with you.

Berpose di Gili Kondo

Berpose di Gili Kondo

Catrina adalah wisatawan yang berasal dari Jerman. Dia sudah sebulan tinggal di Indonesia. Dia coba menjelajahi wisata yang Indonesia. Saat tiba di Indonesia, dia hanya berjalan di Jakarta dan sekitarnya seperti Bandung dan Bogor – dua kota sejuk yang mengelilingi panasnya Jakarta. Setelah Jakarta dan sekitarnya, dia kemudian langsung berjalan-jalan di Bali. Lumayan lama Catrina tinggal di bali. Dan sekarang dia telah menjelajahi Lombok. banyak tempat wisata di Lombok yang dia jelajahi. Di Lombok dia berkenalan dengan Nana. Bilamana tujuan wisata yang ingin dia kunjungi tidak mewajibkan dia untuk menginap, maka dia akan tinggal bersama di rumah Nana, Lombok Tengah. “Ya dia menginap di rumah saya, kata mas Nana membenarkan. Catrina berlibur karena libur semesteran. dia mengambil jurusan ekonomi spesialisasi international economic and development.

Iseng-iseng saya bertanya kemana aja di Lombok. saya sudah ke Gili Trawangan, di sana saya menginap semalam kemudian Saya menginap dua malam di Gili Air, imbuhnya. Saya juga udah mengunjungi Gili Gede. dalam hati saya merasa iri karena bule asli jerman ini sudah mengunjungi Gili Gede. Sedangkan, saya belum pernah menginjakkan kaki di gili yang paling gede yang berada di wilayah Lombok Barat.

Awan Kelabu menyelimutu Gili Kondo yang berpasir putih

Awan Kelabu menyelimutu Gili Kondo yang berpasir putih

Dan malam ini, bermalam di Gili Kondo bersama rombongan Lombok Backpacker. Tidur ala backpacker. Hidup ala backpacker. Gimana ngak apa-apa tah dia tidur begini, kataku pada mas Nana. “Akh ngak apa-apa, saya sudah kasih tau ke Catrina kalau kita akan camping bersama orang-orang Lombok Backpacker, kata Nana kepada saya.

Mas Bendot terus bernyanyi menemani obrolan kami di tengah kegelapan malam, di bawah berugak dengan hembusan angin laut menerpa wajah. Awan hitam kelabu semakin gelap bersamaan dengan gelapnya malam.

Sebagian anggota Lombok Backpacker yang lain mengumpulkan kayu-kayu untuk membuat Api Unggun. Lama-lama api unggun itu semakin membesar. Api unggun laksana oase di tengah gurun gelapnya malam Gili Kondo. Rombongan Lombok Backpacker mengelilingi api unggun. Mencari kehangatan untuk melawan rasa dingin. Ikan-ikan segar siap dibakar untuk menjadi santapan malam rombongan Lombok Backpacker. Angin laut berhembus kencang. Api unggun tertiup angin, suara gemuruh parasut yang digantungkan di berugak menderu-deru.

Nayla, Camper termuda di Lombok Backpacker by Riza

Nayla, Camper termuda di Lombok Backpacker by Riza

 

Rasanya hujan seakan mau turun. Awan gelap itu mencair dan memercikkan air ke Api unggun yang bersinar terang. Awan gelap tak mampu menahan uap air yang menggelantung di atap bumi. Hujannnn, Hujannnnn teriak anggota yang lain. Ayo kita pindah ke belakang Café Perama, kata salah satu dari anggota kami. Hujan pun benar membasahi kami malam ini. Kalang kabut. Mungkin hanya kata itulah yang cocok untuk mengungkapkan kondisi kami malam ini. proses bakar-bakar ikan dihentikan untuk sementara sampai hujan mereda.

Bekas Café Perama

Rombongan kami terpecah menjadi dua, sebagian besar bergegas ke salah satu bilik Café Perama, sedangkan empat anggota backpacker lain termasuk Catrina tetap bertahan berteduh di bawah berugak yang tak jauh dari api unggun. Hujan terus mengguyur perkemahan kami malam ini,

Di Gili Kondo memang ada sebuah Cafe Perama yang sudah ditinggalkan oleh pengelolanya. Café Perama teronggok tak terurus di pinggir pantai. Setahun lalu, Café ini masih terkelola dengan baik, namun malam ini Café ini sudah tak bertuan lagi. Perama yang punya hak untuk mengelola Gili Kondo memutuskan untuk tidak meneruskan perijinan dengan pemda setempat. Café ini sudah tak terurus lagi sebagaimana tak terurusnya budidaya terumbu karang yang berada di depan café tersebut. Dan malam ini, rombongan kami akan berteduh di salah satu bilik Café yang dulunya difungsikan sebagai dapur. Kita sudah booking kamar ini untuk rombongan kita, kata salah satu teman di rombongan. Terlihat rombongan lain sudah mengisi ruang makan café di berbagai sudut. Yang membawa tenda pun ikut pindah ke sudut-sudut Café ini.

Api unggun menjelang malam

Api unggun menjelang malam

Tas-tas dan Backpack ditumpuk di sudut-sudut ruangan. Ruangan penuh sesak bersamaan dengan orang-orang berjubel di sini. Ayo buka kartunya, kata mas Yeng saat mengawal pembicaraan saat berada di bilik Café tak terurus. Mereka membentuk lingkaran dan kartu pun siap dibagikan. Lampu Senter dari Handphone dinyalakan. Disepakati bahwa mereka akan bermain Seven Up –permainan kartu yang dimulai dengan angka 7. Menurut saya yang menarik malam ini bukan permainan kartunya tapi seorang bocah yang berusia 1 tahun 3 bulan yang berada di lingkaran itu. Syahla namanya, anak dari Mbak Fairuz dan mas Ichwan Setiawan.

Bapak Ibu nya seorang backpacker sejati. Setiap bapak ibunya berpetualang Syahla selalu dibawanya. tak terkecuali saat mereka berdua naik gunung pergasingan sekitar satu bulan yang lalu. Waktu itu, saya merasa heran melihat bocah tangguh menaiki gunung pergasingan di Sembalun yang terpampang di Facebook Lombok Backpacker. Saya aja belum pernah sama sekali pun naik gunung. Akh Syahla sudah mengalahkan saya dalam hal petualangan. Dan malam ini, saya menyaksikan bocah ini camping di Gili Kondo. Duduk di pangkuan bapak ibunya secara bergantian. Menyaksikan bapak ibunya bermain kartu Seven up. Dia terdidik sebagai seorang petualang sejak kecil. terlatih untuk tidak manja dan terbiasa dengan kehidupan alam bebas. kehidupannya ditempa oleh alam. wajah lugu dan imutnya selalu menampakkan keceriaan. berteman dengan siapa saja yang ditemuinya. sejak kecil dia sudah terlatih untuk bergaul dengan siapa saja. tak jarang, Catrina juga sering senyum-senyum sendiri melihat keluguannya.

Kemonotonan. Barangkali kata itu yang cocok kondisi saya saat ini. saya termasuk golongan orang-orang yang tak tahu harus berbuat apa malam ini, sekali lagi monoton. Hujan semakin mereda. Langit di luar masih diselimuti awan kelabu. Bintang-bintang bersembunyi di balik awan dan pekatnya malam.

Mengitari api unggun mencari kehangatan

Mengitari api unggun mencari kehangatan

Bernyanyi sambil merasakan hangat api unggun yang diterpa angin malam

Bernyanyi sambil merasakan hangat api unggun yang diterpa angin malam

Saya bergegas menembus malam menuju sumber api. Melewati pasir putih samar dibalik gelapnya malam. Berjalan menghindari pohon-pohon yang tersamarkan. Bendot, Nana dan Catrina duduk mengitari api unggun yang baru dihidupkan. Lama kelamaan Api unggun semakin menyala-nyala diterpa angin malam. Hujan itu tak terlalu deras. Setidaknya api unggun masih bisa dihidupkan kembali. Ikan-ikan segar dibakar lagi. dan saat saya datang mas Nana mempersilahkan saya mencubit ikan-ikan yang sudah dibakar. Angin yang bertiup kencang tergantikan dengan semilir angin yang menenangkan.

Mungkin angin itu menyingkir setelah datangnya hujan. Kami duduk bersama api unggun yang menyala di tengah gelapnya malam. Merasakan ikan bakar tanpa bumbu kecap. Alami dan segar. Catrina pun juga ikut mencubit ikan-ikan itu. dia tak merasa canggung untuk mencubit ikan-ikan secara berbarengan. Dugaanku wanita asli jerman ini terbiasa hidup ala backpacker. Dugaanku langsung dipatahkan oleh Nana. “Akh Caterina itu kaya tapi gaya hidupnya sederhana,” kata Nana yang berusaha meyakinkan saya. Catrina adalah wanita Jerman dengan postur tinggi semampai. Rambutnya tergerai dan hidungnya mancung. Paduan celana pendek dan Tank Top selalu membalut tubuhnya. Dia hanya mengenakan bikini saat berenang tadi sore. Selesai berenang, dia membalut kain tipis di tubuhnya.

Bermain Seven Up di Bilik Cafe. terlihat Nayla bersama bapak ibunya Ikwan dan fairuz

Bermain Seven Up di Bilik Cafe. terlihat Nayla bersama bapak ibunya Ikwan dan fairuz

Catrina hidup di Jerman dengan berbagai fasilitas dan kemajuan bangsa jerman. Jerman terkenal dengan penguasaan teknologi yang sangat diakui dunia. Habibie sang bapak teknologi Indonesia, pemegang puluhan hak paten di bidang penerbangan juga karena mengenyam pendidikan ala Jerman. Jerman menjadi salah satu urat nadi habibie. Karena Habibie, hubungan Jerman dan Indonesia semakin mulus. Karena Habibie Jerman semakin kenal dengan Indonesia. Malam ini Catrina menjadi saksi pertemuan Indonesia dan Jerman. Catrina terbang ribuan kilometer menempuh perjalanan dari Jerman hingga Indonesia. Dia harus merogok kocek sebesar sepuluh juta rupiah untuk menempuh ribuan kilometer itu. Menembus batas-batas Negara. Melewati dua benua, ratusan Negara dan ribuan sungai-sungai. Menjelajahi sebagian pelosok negeri hingga akhirnya terdampar di pelosok negeri bernama Gili Kondo.

Snack Mr. P dan Catrina

Snack Mr. P dan Catrina

Tiba-tiba dia mengeluarkan snack dengan nama merek Mr P. dia menawar-nawarkan kepada kami termasuk saya. Saya dibuat tertawa olehnya melihat snack yang berjenis kelamin ini. Saya hanya tertawa tapi tak mengambil snack tawarannya. Melihat kelakukan saya yang hanya tertawa. Dia mulai kebingungan dan bertanya-tanya. Saya tak cukup berani untuk memberitahunya. Akhirnya, salah satu backpacker asli medan yang berada di dekarnya memberitahukan apa itu Mr. P. Dia hanya tersenyum dengan tersipu malu. Tak berapa lama dia sudah melupakan rasa malunya dan dia pun menganggap hal biasa. Kami pun ngobrol sambil mencubit ikan-ikan yang sudah matang.

Back Game or Backgammon

Catrina terlelap di berugak

Catrina terlelap di berugak

Malam semakin gelap. Api unggun yang kehabisan bahan bakar. Bintang-bintang bermunculan menghiasi langit. Awan kelabu hilang ditelan gelapnya malam. Rasa capek dan kantuk kadang tak bisa ditahan. Catrina pun tertidur pulas berselonjor di bawah berugak. Dalam pulasnya, Nana membangunkan Catrina. Dia pun terbangun dengan mengucek-ngucek matanya. Tak perlu berapa lama untuk sadar sesadarnya. Sebuah papan kecil keluar dari tasnya. Dia membukanya layaknya permainan catur. Papan berukuran kecil mungil. Di dalamnya ada garis-garis berdiri tegak dengan tinggi berbeda-beda. Dia bermain dengan teman serumahnya, Nana. Mungkin diantara kami, hanya Nana yang tahu permainan ini. saya hanya memperhatikan cara bermainnya. Inilah permainan Back Game or Backgammon.

Back Game dari segi namanya saja kalau diartikan ke Indonesia permainan kembali. Cara bermainnya pun sesuai dengan namanya yaitu “kembali” yaitu kembali ke pertahahanan. Saat pertama kali bermain Pion-pion diletakkan sebagian di papan kandang dan di papan tandang. Tujuan dari permainan hanya satu bagaimana prajurit pion yang ada di kandang lawan berpindah ke kandang kita. Pemenangnya ditentukan oleh seberapa banyak dan cepat prajurit-prajurit pion itu kembali ke kandang kita. Pion-pion tidak mengenal istilahnya raja dll layaknya catur. Semua sama.

Bermain BackGame

Bermain BackGame

Bagaimana cara agar pion-pion itu kembali pertahanan secepat mungkin mungkin. Bagaimana agar prajurit pion ini bisa pindah, dua buah dadu dilempar. Jadi, dadu-dadu ini lah yang jadi penentu kemenangan kita. Angka-angka dadu mulai dari satu sampai enam menjadi Penentu. Jika kita melemparkan dadu kemudian mendapatkan angka yang sama dalam dua dadu, maka itu akan mempercepat kemenangan. Misalnya jika dua dadu yang kita lemparkan muncul angka 6, maka angka itu dikalikan dua. Jadi kita bisa mendapatkan 24 kali langkah.

Simple tapi lumayan gambling. Buktinya Mas Nana selalu menelan kekalahan melawan Catrina. Catrina selalu mengambil kemenangan demi kemenangan. Permainan pun berakhir dengan Catrina sebagai Juaranya.

Bakar-bakar Ikan

Bakar-bakar Ikan

Menyantap ikan-ikan segar bersama di samping api unggun

Menyantap ikan-ikan segar bersama di samping api unggun

Kunang-kunang Laut

Malam semakin larut. Pulau ini semakin sunyi. Suara Derap langkah kaki teman-teman yang sedang menuju ke berugak. saya bergegas menuju laut yang tenang dengan gemerisik suara ombak di malam hari. Ku hanya ingin bersuci untuk menunaikan ibadah yang sempat tertunda. Kunang-kunang berwarna kebiruan berenang-berenang di air. Saya perhatikan dengan penuh keheranan. Saya mengambil air yang bercampur dengan kunang-kunang yang berwarna biru cerah dalam kegelapan malam. Kunang-kunang bercampur pasir sudah ditangan. Susahnya membedakan tekstur pasir dan kunang-kunang laut. Hanya warna cerah yang membedakannya. Baru kali ini saya menyaksikan kunang-kunang laut. Kunang-kunang ini sejenis plankton-plankton yang bercahaya, kata Indra kepada saya saat saya berusaha menanyakan jenis kunang-kunang itu.

Tenda-tenda di Gili Kondo

Tenda-tenda di Gili Kondo

Ku liat langit yang bertaburkan bintang-bintang. Ku lirik kunang-kunang yang ada dalam genggaman, ku perhatikan kunang-kunang yang berenang di dalam air. Ku tunaikan shalat dengan beralaskan pasir dengan suara gemerisik ombak berpasrah diri menghadap sang pencipta dalam keheningan malam.

Malam semakin larut, tapi permainan terus berlanjut. Kali ini berugak sudah dipenuhi oleh kawan-kawan Lombok Backpacker yang awalnya berteduh di bilik café. Sebagian tidur terlelap dan sebagian bermain kartu Seven Up. Saya, Catrina, Yeng dan Indra membentuk lingkaran. Catrina di samping kanan saya, Indra di kiri saya. Setiap pemain akan mencari sumber cahaya sehingga pemain sering memiring-miringkan kartunya. Otomatis pemain lain bisa mengetahui kartu tetangganya. Saya pun sering melirik kartu-kartu indra dan Catrina begitu juga sebaliknya. Akh kadang keseruan permainan ini muncul di pulau antah berantah yang tak berpenghuni. Saya senyum-senyum sendiri ketika kartu-kartu Indra dan Catrina terlihat.

Mejeng bersama di Gili Kondo

Mejeng bersama di Gili Kondo

bernarsis saat pertama kali menginjakkan kaki di gili Kondo

bernarsis saat pertama kali menginjakkan kaki di gili Kondo

Yang kalah adalah bertugas mengocok kartu dan siap untuk digantikan oleh pemain lain. Saat Catrina kalah, maka Nana menggantikan begitu juga ketika saya kalah, maka Catrina menggantikan posisi saya. Begitu juga dengan Yeng dan Indra. Begitu seterusnya hingga larut malam menjelang. Rasa kantuk dan capek mulai menghinggapi Catrina, dia mohon ijin untuk tidur duluan di berugak. kami berlanjut bermain, tak berapa lama rasa kantuk menghinggapi saya. Saya pun tertidur pulas di atas berugak. sejam kemudian semua pemain merasakan rasa kantuk sama. terpaksa saya dibangunkan agar berugak ini bisa ditiduri oleh delapan orang dengan masing-masing orang membawa tasnya sendiri-sendiri. begitu berjubelnya berugak ini. Kami semua tidur terlelap diterpa rasa capek dan angin malam di Gili kondo.