Melawan Mati dengan Menyiapkan Kematian

Kami sedang antri periksa kesehatan. Dokter yang kami kunjungi ini termasuk dokter sepuh –berusia sekitar tujuh puluhan- spesialis penyakit…

“Silakan duduk,” sambut dr.Paulus.
Aku duduk di depan meja kerjanya, mengamati pria sepuh berkacamata ini yang sedang sibuk menulis identitasku di kartu pasien.

“Apa yang dirasakan, Mas?”

Aku pun bercerita tentang apa yang kualami sejak 2013 hingga saat ini. Mulai dari awal merasakan sakit maag, peristiwa-peristiwa kram perut, ambruk berkali-kali, gejala dan vonis tipes, pengalaman opnam dan endoskopi, derita GERD, hingga tentang radang duodenum dan praktek tata pola makan Food Combining yang kulakoni.

“Kalau kram perutnya sudah enggak pernah lagi, Pak,” ungkapku, “Tapi sensasi panas di dada ini masih kerasa, panik juga cemas, mules, mual. Kalau telat makan, maag saya kambuh. Apalagi setelah beberapa bulan tata pola makan saya amburadul lagi.”

“Tapi buat puasa kuat ya?”

“Kuat, Pak.”

“Orang kalau kuat puasa, harusnya nggak bisa kena maag!”

Aku terbengong, menunggu penjelasan.

“Asam lambung itu,” terang Pak Paulus, “Diaktifkan oleh instruksi otak kita. Kalau otak kita bisa mengendalikan persepsi, maka asam lambung itu akan nurut sendiri. Dan itu sudah bisa dilakukan oleh orang-orang puasa.”

“Maksudnya, Pak?”

“Orang puasa ‘kan malamnya wajib niat to?”

“Njih, Pak.”

“Nah, niat itulah yang kemudian menjadi kontrol otak atas asam lambung. Ketika situ sudah bertekad kuat besok mau puasa, besok nggak makan sejak subuh sampai maghrib, itu membuat otak menginstruksikan kepada fisik biar kuat, asam lambung pun terkendali. Ya kalau sensasi lapar memang ada, namanya juga puasa. Tapi asam lambung tidak akan naik, apalagi sampai parah. Itu syaratnya kalau situ memang malamnya sudah niat mantap. Kalau cuma di mulut bilang mau puasa tapi hatinya nggak mantap, ya tetap nggak kuat. Makanya niat itu jadi kewajiban, ‘kan?”

“Iya, ya, Pak,” aku manggut-manggut nyengir.

“Manusia itu, Mas, secara ilmiah memang punya tenaga cadangan hingga enam puluh hari. Maksudnya, kalau orang sehat itu bisa tetap bertahan hidup tanpa makan dalam keadaan sadar selama dua bulan. Misalnya puasa dan buka-sahurnya cuma minum sedikit. Itu kuat. Asalkan tekadnya juga kuat.”

Aku melongo lagi.

“Makanya, dahulu raja-raja Jawa itu sebelum jadi raja, mereka tirakat dulu. Misalnya puasa empat puluh hari. Bukanya cuma minum air kali. Itu jaman dulu ya, waktu kalinya masih bersih. Hahaha,” ia tertawa ringan, menambah rona wajahnya yang memang kelihatan masih segar meski keriput penanda usia.

Kemudian ia mengambil sejilid buku di rak sebelah kanan meja kerjanya. Ya, ruang praktek dokter dengan rak buku. Keren sekali. Aku lupa judul dan penulisnya. Ia langsung membuka satu halaman dan menunjukiku beberapa baris kalimat yang sudah distabilo hijau.

“Coba baca, Mas: ‘mengatakan adalah mengundang, memikirkan adalah mengundang, meyakini adalah mengundang’. Jadi kalau situ memikirkan; ‘ah, kalau telat makan nanti asam lambung saya naik’, apalagi berulang-ulang mengatakan dan meyakininya, ya situ berarti mengundang penyakit itu. Maka benar kata orang-orang itu bahwa perkataan bisa jadi doa. Nabi Musa itu, kalau kerasa sakit, langsung mensugesti diri; ah sembuh. Ya sembuh. Orang-orang debus itu nggak merasa sakit saat diiris-iris kan karena sudah bisa mengendalikan pikirannya. Einstein yang nemuin bom atom itu konon cuma lima persen pendayagunaan otaknya. Jadi potensi otak itu luar biasa,” papar Pak Paulus.

“Jadi kalau jadwal makan sembarangan berarti sebenarnya nggak apa-apa ya, Pak?”

“Nah, itu lain lagi. Makan harus tetap teratur, ajeg, konsisten. Itu agar menjaga aktivitas asam lambung juga. Misalnya situ makan tiga kali sehari, maka jarak antara sarapan dan makan siang buatla sama dengan jarak antara makan siang dan makan malam. Misalnya, sarapan jam enam pagi, makan siang jam dua belas siang, makan malam jam enam petang. Kalau siang, misalnya jam sebelas situ rasanya nggak sempat makan siang jam dua belas, ya niatkan saja puasa sampai sore. Jangan mengundur makan siang ke jam dua misalnya, ganti aja dengan minum air putih yang banyak. Dengan pola yang teratur, maka organ di dalam tubuh pun kerjanya teratur. Nah, pola teratur itu sudah bisa dilakukan oleh orang-orang yang puasa dengan waktu buka dan sahurnya.”

“Ooo, gitu ya Pak,” sahutku baru menyadari.

“Tapi ya itu tadi. Yang lebih penting adalah pikiran situ, yakin nggak apa-apa, yakin sembuh. Allah sudah menciptakan tubu kita untuk menyembuhkan diri sendiri, ada mekanismenya, ada enzim yang bekerja di dalam tubuh untuk penyembuhan diri. Dan itu bisa diaktifkan secara optimal kalau pikiran kita optimis. Kalau situ cemas, takut, kuatir, justru imunitas situ turun dan rentan sakit juga.”

Pak Paulus mengambil beberapa jilid buku lagi, tentang ‘enzim kebahagiaan’ endorphin, tentang enzim peremajaan, dan beberapa tema psiko-medis lain tulisan dokter-dokter Jepang dan Mesir.

“Situ juga berkali-kali divonis tipes ya?”

“Iya, Pak.”

“Itu salah kaprah.”

“Maksudnya?”

“Sekali orang kena bakteri thypoid penyebab tipes, maka antibodi terhadap bakteri itu bisa bertahan dua tahun. Sehingga selama dua tahun itu mestinya orang tersebut nggak kena tipes lagi. Bagi orang yang fisiknya kuat, bisa sampai lima tahun. Walaupun memang dalam tes widal hasilnya positif, tapi itu bukan tipes. Jadi selama ini banyak yang salah kaprah, setahun sampai tipes dua kali, apalagi sampai opnam. Itu biar rumah sakitnya penuh saja. Kemungkinan hanya demam biasa.”

“Haah?”

“Iya Mas. Kalaupun tipes, nggak perlu dirawat di rumah sakit sebenarnya. Asalkan dia masih bisa minum, cukup istirahat di rumah dan minum obat tipes. Sembuh sudah. Dulu, pernah di RS Sardjito, saya anjurkan agar belasan pasien tipes yang nggak mampu, nggak punya asuransi, rawat jalan saja. Yang penting tetep konsumsi obat dari saya, minum yang banyak, dan tiap hari harus cek ke rumah sakit, biayanya gratis. Mereka nurut. Itu dalam waktu maksimal empat hari sudah pada sembuh. Sedangkan pasien yang dirawat inap, minimal baru bisa pulang setelah satu minggu, itupun masih lemas.”

“Tapi ‘kan pasien harus bedrest, Pak?”

“Ya ‘kan bisa di rumah.”

“Tapi kalau nggak pakai infus ‘kan lemes terus Pak?”

“Nah situ nggak yakin sih. Saya yakinkan pasien bahwa mereka bisa sembuh. Asalkan mau nurut dan berusaha seperti yang saya sarankan itu. Lagi-lagi saya bilang, kekuatan keyakinan itu luar biasa lho, Mas.”

Dahiku berkernyit. Menunggu lanjutan cerita.

“Dulu,” lanjut Pak Paulus, “Ada seorang wanita kena kanker payudara. Sebelah kanannya diangkat, dioperasi di Sardjito.
Nggak lama, ternyata payudara kirinya kena juga. Karena nggak segera lapor dan dapat penanganan, kankernya merembet ke paru-paru dan jantung. Medis di Sardjito angkat tangan.

Dia divonis punya harapan hidup maksimal hanya empat bulan.”

“Lalu, Pak?” tanyaku antusias.

“Lalu dia kesini ketemu saya. Bukan minta obat atau apa.
Dia cuma nanya; ‘Pak Paulus, saya sudah divonis maksimal empat bulan.

Kira-kira bisa nggak kalau diundur jadi enam bulan?’

Saya heran saat itu, saya tanya kenapa.

Dia bilang bahwa enam bulan lagi anak bungsunya mau nikah, jadi pengen ‘menangi’ momen itu.”

“Waah.. Lalu, Pak?”

“Ya saya jelaskan apa adanya. Bahwa vonis medis itu nggak seratus persen, walaupun prosentasenya sampai sembilan puluh sembilan persen,
tetap masih ada satu persen berupa kepasrahan kepada Tuhan yang bisa mengalahkan vonis medis sekalipun.
Maka saya bilang; sudah Bu, situ nggak usah mikir bakal mati empat bulan lagi.
Justru situ harus siap mental, bahwa hari ini atau besok situ siap mati.
Kapanpun mati, siap!
Begitu, situ pasrah kepada Tuhan, siap menghadap Tuhan kapanpun. Tapi harus tetap berusaha bertahan hidup.”

Aku tambah melongo. Tak menyangka ada nasehat macam itu.
Kukira ia akan memotivasi si ibu agar semangat untuk sembuh, malah disuruh siap mati kapanpun.
O iya, mules mual dan berbagai sensasi ketidaknyamanansudah tak kurasakan lagi.

“Dia mau nurut. Untuk menyiapkan mental siap mati kapanpun itu dia butuh waktu satu bulan.
Dia bilang sudah mantap, pasrah kepada Tuhan bahwa dia siap.
Dia nggak lagi mengkhawatirkan penyakit itu, sudah sangat enjoy.

Nah, saat itu saya cuma kasih satu macam obat. Itupun hanya obat anti mual biar dia tetap bisa makan dan punya energi untuk melawan kankernya.

Setelah hampir empat bulan, dia check-up lagi ke Sardjito dan di sana dokter yang meriksa geleng-geleng. Kankernya sudah berangsur-angsur hilang!”

“Orangnya masih hidup, Pak?”

“Masih. Dan itu kejadian empat belas tahun lalu.”

“Wah, wah, wah..”

“Kejadian itu juga yang menjadikan saya yakin ketika operasi jantung dulu.”

“Lhoh, njenengan pernah Pak?”

“Iya.
Dulu saya operasi bedah jantung di Jakarta. Pembuluhnya sudah rusak. Saya ditawari pasang ring.

Saya nggak mau. Akhirnya diambillah pembuluh dari kaki untuk dipasang di jantung.

Saat itu saya yakin betul sembuh cepat. Maka dalam waktu empat hari pasca operasi, saya sudah balik ke Jogja, bahkan dari bandara ke sini saya nyetir sendiri.
Padahal umumnya minimal dua minggu baru bisa pulang.
Orang yang masuk operasi yang sama bareng saya baru bisa pulang setelah dua bulan.”

Pak Paulus mengisahkan pengalamannya ini dengan mata berbinar. Semangatnya meluap-luap hingga menular ke pasiennya ini. Jujur saja, penjelasan yang ia paparkan meningkatkan harapan sembuhku dengan begitu drastis.

Persis ketika dua tahun lalu pada saat ngobrol dengan Bu Anung tentang pola makan dan kesehatan. Semangat menjadi kembali segar!

“Tapi ya nggak cuma pasrah terus nggak mau usaha.
Saya juga punya kenalan dokter,” lanjutnya,
“Dulu tugas di Bethesda, aslinya Jakarta, lalu pindah mukim di Tennessee, Amerika.

Di sana dia kena kanker stadium empat. Setelah divonis mati dua bulan lagi, dia akhirnya pasrah dan pasang mental siap mati kapanpun.

Hingga suatu hari dia jalan-jalan ke perpustakaan, dia baca-baca buku tentang Afrika.
Lalu muncul rasa penasaran, kira-kira gimana kasus kanker di Afrika.
Dia cari-cari referensi tentang itu, nggak ketemu. Akhirnya dia hubungi kawannya, seorang dokter di Afrika Tengah.

Kawannya itu nggak bisa jawab.
Lalu dihubungkan langsung ke kementerian kesehatan sana. Dari kementerian, dia dapat jawaban mengherankan, bahwa di sana nggak ada kasus kanker.
Nah dia pun kaget, tambah penasaran.”

Pak Paulus jeda sejenak. Aku masih menatapnya penuh penasaran juga, “Lanjut, Pak,” benakku.

“Beberapa hari kemudian dia berangkat ke Afrika Tengah.
Di sana dia meneliti kebiasaan hidup orang-orang pribumi. Apa yang dia temukan?
Orang-orang di sana makannya sangat sehat.
Yaitu sayur-sayuran mentah, dilalap, nggak dimasak kayak kita.

Sepiring porsi makan itu tiga perempatnya sayuran, sisanya yang seperempat untuk menu karbohidrat. Selain itu, sayur yang dimakan ditanam dengan media yang organik. Pupuknya organik pake kotoran hewan dan sisa-sisa tumbuhan.

Jadi ya betul-betul sehat.
Nggak kayak kita, sudah pupuknya pakai yang berbahaya, eh pakai dimasak pula. Serba salah kita.

Bahkan beras merah dan hitam yang sehat-sehat itu, kita nggak mau makan.
Malah kita jadikan pakan burung, ya jadinya burung itu yang sehat, kitanya sakit-sakitan.”

Keterangan ini mengingatkanku pada obrolan dengan Bu Anung tentang sayur mayur, menu makanan serasi, hingga beras sehat. Pas sekali.

“Nah dia yang awalnya hanya ingin tahu, akhirnya ikut-ikutan.

Dia tinggal di sana selama tiga mingguan dan menalani pola makan seperti orang-orang Afrika itu.”

“Hasilnya, Pak?”

“Setelah tiga minggu, dia kembali ke Tennessee.

Dia mulai menanam sayur mayur di lahan sempit dengan cara alami.
Lalu beberapa bulan kemudian dia check-up medis lagi untuk periksa kankernya,”

“Sembuh, Pak?”

“Ya! Pemeriksaan menunjukkan kankernya hilang.
Kondisi fisiknya berangsur-angsur membaik. Ini buki bahwa keyakinan yang kuat, kepasrahan kepada Tuhan, itu energi yang luar biasa.

Apalagi ditambah dengan usaha yang logis dan sesuai dengan fitrah tubuh.

Makanya situ nggak usah cemas, nggak usah takut..”

Takjub, tentu saja.

Pada momen ini Pak Paulus menghujaniku dengan pengalaman-pengalamannya di dunia kedokteran, tentang kisah-kisah para pasien yang punya optimisme dan pasien yang pesimis.

Aku jadi teringat kisah serupa yang menimpa alumni Madrasah Huffadh Al-Munawwir, pesantren tempatku belajar saat ini.

Singkatnya, santri ini mengidap tumor ganas yang bisa berpindah-pindah benjolannya.

Ia divonis dokter hanya mampu bertahan hidup dua bulan. Terkejut atas vonis ini, ia misuh-misuh di depan dokter saat itu.
Namun pada akhirnya ia mampu menerima kenyataan itu.

Ia pun bertekad menyongsong maut dengan percaya diri dan ibadah. Ia sowan ke Romo Kiai, menyampaikan maksudnya itu.

Kemudian oleh Romo Kiai, santri ini diijazahi (diberi rekomendasi amalan)
Riyadhoh Qur’an, yakni amalan membaca Al-Quran tanpa henti selama empat puluh hari penuh, kecuali untuk memenuhi hajat dan kewajiban primer.

Riyadhoh pun dimulai. Ia lalui hari-hari dengan membaca Al-Quran tanpa henti.

Persis di pojokan aula Madrasah Huffadh yang sekarang. Karena merasa begitu dingin, ia jadikan karpet sebagai selimut.

Hari ke tiga puluh, ia sering muntah-muntah, keringatnya pun sudah begitu bau.

Bacin, mirip bangkai tikus,kenang narasumber yang menceritakan kisah ini padaku. Hari ke tiga puluh lima, tubuhnya sudah nampak lebih segar, dan ajaibnya; benjolan tumornya sudah hilang.

Selepas rampung riyadhoh empat puluh hari itu, dia kembali periksa ke rumah sakit di mana ia divonis mati.

Pihak rumah sakit pun heran.
Penyakit pemuda itu sudah hilang, bersih, dan menunjukkan kondisi vital yang sangat sehat!

Aku pribadi sangat percaya bahwa gelombang yang diciptakan oleh ritual ibadah bisa mewujudkan energi positif bagi fisik.

Khususnya energi penyembuhan bagi mereka yang sakit.

Memang tidak mudah untuk sampai ke frekuensi itu, namun harus sering dilatih. Hal ini diiyakan oleh Pak Paulus.

“Untuk melatih pikiran biar bisa tenang itu cukup dengan pernapasan.

Situ tarik napas lewat hidung dalam-dalam selama lima detik, kemudian tahan selama tiga detik. Lalu hembuskan lewat mulut sampai tuntas. Lakukan tujuh kali setiap sebelum Shubuh dan sebelum Maghrib.

Itu sangat efektif. Kalau orang pencak, ditahannya bisa sampai tuuh detik.
Tapi kalau untuk kesehatan ya cukup tiga detik saja.”

Nah, anjuran yang ini sudah kupraktekkan sejak lama. Meskipun dengan tata laksana yang sedikit berbeda.

Terutama untuk mengatasi insomnia. Memang ampuh. Yakni metode empat-tujuh-delapan.

Ketika merasa susah tidur alias insomnia, itu pengaruh pikiran yang masih terganggu berbagai hal.

Maka pikiran perlu ditenangkan, yakni dengan pernapasan.
Tak perlu obat, bius, atau sejenisnya, murah meriah.

Pertama, tarik napas lewat hidung sampai detik ke empat, lalu tahan sampai detik ke tujuh, lalu hembuskan lewat mulut pada detik ke delapan. Ulangi sebanyak empat sampai lima kali.

Memang iya mata kita tidak langsung terpejam ngantuk, tapi pikiran menadi rileks dan beberapa menit kemudian tanpa terasa kita sudah terlelap.

Awalnya aku juga agak ragu, tapi begitu kucoba, ternyata memang ampuh. Bahkan bagi yang mengalami insomnia sebab rindu akut sekalipun.

“Gelombang yang dikeluarkan oleh otak itu punya energi sendiri, dan itu bergantung dari seberapa yakin tekad kita dan seberapa kuat konsentrasi kita,” terangnya,

“Jadi kalau situ sholat dua menit saja dengan khusyuk, itu sinyalnya lebih bagus ketimbang situ sholat sejam tapi pikiran situ kemana-mana, hehehe.”

Duh, terang saja aku tersindir di kalimat ini.

“Termasuk dalam hal ini adalah keampuhan sholat malam.

Sholat tahajud. Itu ketika kamu baru bangun di akhir malam, gelombang otak itu pada frekuensi Alpha. Jauh lebih kuat daripada gelombang Beta yang teradi pada waktu Isya atau Shubuh.
Jadi ya logis saja kalau doa di saat tahajud itu begitu cepat ‘naik’ dan terkabul. Apa yang diminta, itulah yang diundang.
Ketika tekad situ begitu kuat, ditambah lagi gelombang otak yang lagi kuat-kuatnya, maka sangat besar potensi terwujud doa-doa situ.”

Tak kusangka Pak Paulus bakal menyinggung perihal sholat segala. Aku pun ternganga. Ia menunjukkan sampul buku tentang ‘enzim panjang umur’.

“Tubuh kita ini, Mas, diberi kemampuan oleh Allah untuk meregenerasi sel-sel yang rusak dengan bantuan enzim tertentu, populer disebut dengan enzim panjang umur. Secara berkala sel-sel baru terbentuk, dan yang lama dibuang.
Ketika pikiran kita positif untuk sembuh, maka yang dibuang pun sel-sel yang terkena penyakit.

Menurut penelitian, enzim ini bisa bekerja dengan baik bagi mereka yang sering merasakan lapar dalam tiga sampai empat hari sekali.”

Pak Paulus menatapku, seakan mengharapkan agar aku menyimpulkan sendiri.

“Puasa?”
“Ya!”
“Senin-Kamis?”

“Tepat sekali! Ketika puasa itu regenerasi sel berlangsung dengan optimal.

Makanya orang puasa sebulan itu juga harusnya bisa jadi detoksifikasi yang ampuh terhadap berbagai penyakit.”

Lagi-lagi,aku manggut-manggut.

Tak asing dengan teori ini.

“Pokoknya situ harus merangsang tubuh agar bisa menyembuhkan diri sendiri.

Jangan ketergantungan dengan obat. Suplemen yang nggak perlu-perlu amat,nggak usahlah. Minum yang banyak, sehari dua liter, bisa lebih kalau situ banyak berkeringat, ya tergantung kebutuhan.

Tertawalah yang lepas, bergembira, nonton film lucu tiap hari juga bisa merangsang produksi endorphin, hormon kebahagiaan. Itu akan sangat mempercepat kesembuhan.

Penyakit apapun itu! Situ punya radang usus kalau cemas dan khawatir terus ya susah sembuhnya.

Termasuk asam lambung yang sering kerasa panas di dada itu.”

Terus kusimak baik-baik anjurannya sambil mengelus perut yang tak lagi terasa begah. Aneh.

“Tentu saja seperti yang saya sarankan, situ harus teratur makan, biar asam lambung bisa teratur juga.

Bangun tidur minum air hangat dua gelas sebelum diasupi yang lain.

Ini saya kasih vitamin saja buat situ, sehari minum satu saja. Tapi ingat, yang paling utama adalah kemantapan hati, yakin, bahwa situ nggak apa-apa. Sembuh!”

Begitulah. Perkiraanku yang tadinya bakal disangoni berbagai macam jenis obat pun keliru.

Hanya dua puluh rangkai kaplet vitamin biasa, Obivit, suplemen makanan yang tak ada ?;kaitannya dengan asam lambung apalagi GERD.

Hampir satu jam kami ngobrol di ruang praktek itu, tentu saja ini pengalaman yang tak biasa. Seperti konsultasi dokter pribadi saja rasanya.

Padahal saat keluar, kulihat masih ada dua pasien lagi yang kelihatannya sudah begitu jengah menunggu.

“Yang penting pikiran situ dikendalikan, tenang dan berbahagia saja ya,” ucap Pak Paulus sambil menyalamiku ketika hendak pamit.

Dan jujur saja, aku pulang dalam keadaan bugar, sama sekali tak merasa mual, mules, dan saudara-saudaranya.

Terima kasih Pak Paulus.

Kadipiro Yogyakarta

Rasulullah S.A.W bersabda :”Barang siapa yang menyampaikan 1 (satu) ilmu saja dan ada orang yang mengamalkannya,maka walaupun yang menyampaikan sudah tiada (meninggal dunia), dia akan tetap memperoleh pahala.” (HR. Al-Bukhari)

Dari wordpress GUBUGREOT

Tanjung Luar

Saya penasaran dengan tempat ini. penasaran bingit, kata anak milineal Saat ini. penyebabnya satu: ingin tau tempat dan proses Pelelangan ikan Hiu. lokasinya adalah tanjung luar, Lombok Timur.

Tanjung Luar mungkin satu satunya tempat pelelangan hiu di Lombok.

saya berangkat 8.30 dari daerah Cipto Mangun kusumo, Sawing. mengikuti petunjuk mapnya mbah Google.

Sebetulnya ada dua opsi menuju Tanjung Luar. Lewat Labuhan Haji atau lewat Jalur Keruak. Jalur Keruak lebih ramai daripada lewat Labuhan Haji.

sempat bingung. Keruak atau Labuhan Haji. akhirnya saya putuskan minta petunjuk ama si mbah. lewat jalur tikus dan ngk umum plus lebih sepi.

saya minta yang paling cepat. ini pengalaman pertama kali ke Tanjung Luar.

setelah nyampe setengah perjalanan, saya ketemu perkampungan. jalannya jelek, sempit. saya mulai ragu pada si Mbah. sepertinya jalan ini jarang dilewati motor apalagi mobil. lebarnya cukup satu mobil dan ditengah tengah jalan, ada seekor kuda.

pemilik kuda sepertinya sengaja dan sudah biasa menaruh kudanya di jalan itu.

untung bawa motor, kalau pakai mobil bisa kerepotan melewati kuda itu.

saya jalan pelan pelan dan hati hati untuk melewati si kuda. saya takut dikira akan mengganggu si kuda. bisa berabe kena tendang kaki kuda. saya lewat jalan di belakang kuda. pemiliknya keluar melihat saya. alhamdulillah Selamat.

duh mbah google. sampai segitunya memberi petunjuk tercepat.

setelah melewati jalan kuda. tembuslah ke jalur Labuhan Haji. Jam 9.30 saya baru nyampe Tanjung Luar. saya coba cari pelelangan ikan Hiu. ketemu.

saya terlambat. pelelangan ikan ikan hiu dimulai jam 08 Wita. tak masalah, toh saya masih bisa melihat ikan ikan hiu yang buntung. siripnya sudah diambil. dijual tersendiri.

Daging ikan hiu segar dijual 25 s.d 30 ribu per kilo.

Sirip ikan hiu emang tergolong makanan kelas menengah keatas. biasanya disajikan dalam bentuk soup. soup sirip ikan hiu.

harganya ampun ampunan. bisa mencapai 13 juta satu porsi di hotel hotel berbintang. soup sirip ikan hiu biasanya dijadikan jamuan saat imlek, pernikahan dll.

Dari segi rasa, pakar kuliner William Wongso pun mengatakan sebenarnya sirip hiu ini tidak istimewa. Teksturnya lembut seperti gelatin, tak punya rasa khusus.

“Sebenarnya itu hanya kolagen. Yang membuat cita rasanya sirip hiu itu nikmat adalah kaldu yang menunjang sirip hiu itu dan cara memasaknya,” kata William sebagaimana dikutip tribunnews.

di kawasan pelelangan ikan hiu, saya bertemu beberapa penjual. salah satunya sukri, penjual dari daerah Rumbuk, Sakra. kebanyakan penjual atau pemenang lelang berasal dari rumbuk.

berdasarkan keterangan dari sukri, para nelayan itu pulang setelah
15 hari memancing. artinya selama itu mereka memancing di tengah laut. lokasi perburuannya mulai dari selat Lombok, Sumba, hingga Flores.

bahkan dulu, hingga sampai perairan Australia. Sekarang, kita sudah tidak diperbolehkan lagi keluar perairan indonesia. banyak kapal kapal nelayan kita yang ditangkap austalia, kata sukri.

di gedung tempat pelelangan ikan, ada pemberitahuan jenis jenis ikan ikan yang dilindungi. antara lain Pari Manta, Pari Gergaji dan Hiu Paus.

di tempat pelelangan, tinggal beberapa ekor hiu yang belum laku.

di sekitar pelelangan ikan hiu, banyak Kulit ikan hiu yang dijemur di pinggir pinggir jalan dengan beralaskan tanah.

Kulit yang sudah kering. dijual. yang Bagus dan ukurannya besar dikirim ke surabaya. yang kecil kecil dijadikan krupuk kulit hiu.

Harga jual kulit kering per kilo sekitar 200 ribu, kata sukri

Menjelang siang, sukri dkk hendak pulang. ikan ikan hiu yang belum.laku terjual diangkut ke dalam tosa.
jenis hiu yang dibawa pulang adalah hiu karet dengan corak warna gelap dan hiu Macan dengan corak berwarna putih tulang. Hiu Macan bentuknya sekilas mirip lele Raksasa.

Daging daging ikan hiu yang tak laku dibawa ke gudang pengolahan ikan hiu. lokasi gudangnya berada di puncak bukit dan jauh dari perkampungan warga. alasannya agar bau yang ditimbulkan tidak mengganggu warga.

inlah pusat pengolahan ikan hiu.ada pengolahan khusus sirip hiu, Tulang Hiu, Kulit Hiu dan Daging Hiu.

sirip dan kulitnya dikeringkan. tulang-tulangnya direbus terlebih dahulu agar dagingnya terlepas. kemudian dijemur.

Sirip, Kulit dan Tulang yang sudah kering nanti akan dikirimkan ke Surabaya.

dagingnya kebanyakan dijadikan sate Ikan Hiu. kemudian dijual di pasar pasar sekitar seperti pasar selong atau masbagik. harga 3 tusuk sate hiu sekitar 15 ribu.

sepulang dari gudang pengolahan ikan hiu, saya mampir ke rumah Sukri yang tak jauh dari gudang pengolahan.

saya disuguhkan seporsi ikan hiu yang sudah matang dengan bumbu bawang goreng tomat pedas khas rumbuk.

textur daging ikan hiu menurut saya mirip tuna. nikmat. baru kali ini saya makan ikan hiu.

Sepulang dari rumah sukri, saya masih dibawain oleh oleh olahan masakan ikan hiu.

Terima kasih mas Sukri.

Mada Oi Hodo dan Oi Rao, Mata Air Pantai

“Mada Oi Hodo” adalah mata air yang berada di pinggir jalan lintas tambora. Sekitar 3 jam perjalanan dari Pusat Kota Dompu.

Mata Air Hodo yang langsung berbatasan dengan Pantai Hodo

Mada Oi Hodo berasal dari bahasa lokal yang berarti Mata Air Hodo.
Hodo sendiri berarti Jantung.

Jadi, terjemahan bebasnya Mada Oi Hodo adalah Mata air yang menjadi jantung bagi masyarakat sekitar. Mata Air Oi Hodo terletak di desa Oi Hodo, Kec. Kempo, Kab Dompu. Uniknya Mata airnya keluar dari celah-celah bebatuan di pinggir jalan. Dan langsung berbatasan dengan pantai Oi Hodo.

Pantai yang identik dengan panas, seketika menjadi sejuk dengan adanya pemandian air hodo. Pohonnya rindang, anginnya pun semilir. Banyak yang memanfaatkan mata air oi hodo sekedar untuk beristirahat seperti shalat, makan, atau sekedar cuci muka bagi para pelintas jalan lintas tambora ini. Mata air Oi Hodo adalah detak jantung bagi masyarakat dan ternak-ternak.

Di saat siang hari, banyak masyarakat yang mandi, mencuci baju, dan berwudhu untuk kemudian shalat di mushalla yang berada tak jauh dari lokasi pemandian ini. sedangkan, bagi para ternak, mata air oi hodo juga sebagai surga para kerbau. Kerbau kerbau itu juga akan mandi di kubangan pemandian tesebut. Ada bagian waktu untuk kerbau dan ada bagian waktu untuk manusia.

Mata air Oi Hodo memiliki 2 sumber mata air. Antara keduanya dipisahkan oleh jalan menuju pantai. Mata Airnya deras. Saking derasnya, airny menyembur keluar dari celah bebatuan. Saya tak tahan ingin merasakan deras dan segarnya mata air Oi Hodo.

Mencuci, Mandi di Mada Oi Hodo

Saya ingin membasuh muka setelah 2,5 jam perjalanan dari Kota Dompu. Dingin terasa saat ku usapkan ke wajah untuk berwudhu. Seger dan rasanya juga enak. Saya bersama rombongan PDAM Dompu singgah untuk istirahat dan shalat Dhuhur sebelum melanjutkan trips selanjutnya menuju Satonda.

Saya heran kenapa mata air malah keluar dari celah bebatuan yang berada pinggir pantai, bukan di bawah kaki Gunung Tambora yang jauh di sana.

Mata air selalu identik dengan kawasan puncak, dataran tinggi dan dikelilingi pepohonan yang rindang. PDAM adalah perusahaan yang menjadikan air sebagai bahan baku utama. Tanpa air, pdam tidak bisa menghasilkan. Maka, salah satu program PDAM adalah menjaga kelestarian alam di sekitar sumber mata air.

Namun, mata air Oi Hodo dan Oi Rao adalah salah satu keunikan Dompu. Selain berada di dataran rendah juga tak ada kawasan hutan rindang yang berfungsi untuk menjaga menurunnya debit air. Di sekitar mata air ini, yang ada hanyalah padang sabana yang membentang luas. lalu dari mana datangnya mata air itu, dari Gunung Tambora yang jauh di atas sana. Kalau benar, inilah salah satu anugerah Gunung Tambora bagi Dompu.

Setelah shalat Dhuhur dan Asar (jamak), saya bersama rombongan PDAM langsung bergegas menuju Pulau Satonda. Namun, Direktur PDAM Dompu, Pak Agus mengatakan bahwa kami akan singgah di Mata Air Oi Rao untuk makan siang bersama. Menurut penjelasan Pak Agus, ada 2 mata air lagi yang mata airnya dekat dari pantai. So, ada 3 mata air yang lokasinya berada di pantai.

Wudhu langsung dari Mata air

Tak lama setelah meninggalkan Mata air Oi Hodo, kami memasuki kawasan Gunung Tambora, Padang Savana luas membentang, kering dan terlihat gersang. Maklum, kami melintasi awal bulan September, awal musim hujan. Kepulan debu beterbangan saat melintasi padang tanah tak beraspal. Pak Agus menunjuk awan putih kelabu nan jauh di sana “ Gunung Tambora ada di balik awan itu”. Saya tak melihat tambora yang bersembunyi di balik selimut putihnya, yang ku lihat hanyalah padang sabana luas membentang. Padang Sabana afrika rasa Dompu.

Kami mulai memasuki kecamatan lain yaitu kecamatan Pekat. Di Kecamatan inilah padang sabana membentang luas, Padang Sabana Ndoro Ncanga. Kawasan Gunung Tambora berada di kecamatan Pekat. Karena itu Kecamatan Pekat banyak memiliki sumber mata air.

Padang Sabana Ndoro Ncanga. Inilah pintu gerbang bagi para hiking, para pengelana, para pencari ketinggian. Sebuah pintu gerbang Gunung Tambora sebagai penanda. Setelah melewati padang sabana, kami melihat sebagian tebu-tebu. Tebu-tebu dikelola oleh sebuah perusahaan.

Pabrik Gula pun dibangun di beberapa tempat di kecamatan Pekat. Saat malam, Pabrik-pabrik bercahaya laksana kunang-kunang yang bercahaya di kegelapan malam. Begitu juga, pabrik-pabrik gula tersebut, mereka bercahaya di antara gelapnya padang sabana luas membentang.

Setengah jam lebih (tepatnya 40 menit) kami melintasi padang sabana, kemudian berbelok ke jalanan tanah tak beraspal. Gersang dan kering, panasnya begitu terik. Debu-debu beterbangan, berbelok ke kanan, ke kiri, dan menurun. Ntah lah, saya tak tahu akan dibawa kemana. Pak Agus nyeletuk “kita akan ke arah Mata Air Oi Rao”. “Nanti, di sana kita akan melihat dua air bertemu yaitu antara air laut dan air tawar.” Yang dimaksud pak Agus adalah titik pertemuan antara air laut dengan mata air Oi Rao. Wah seru, kataku menyahut.

Saya ingin menyaksikan bagaimana titik pertemuan dua air ini sebagaimana dituturkan oleh Pak Agus. Rasa asin dan tawar.

Mada Oi Rao

Kami tiba di lokasi mata air Oi Rao pukul 13.26 WITA. Tandanya adalah pepohonan waru yang rindang. Untuk mencapainya, kami harus melewati padang sabana. Mata airnya berada dibalik pepohonan waru tepat berada di tengah-tengah pepohonan waru. Mata airnya muncul dari celah celah akar pepohonan waru. Alirannya deras dan dingin. Ketinggian mata airnya 0 DPL. Dibalik pepohonan waru itulah pantai Rao. Saat kami tiba di sini, tak ada seorang pun warga sekitar yang mengambil air. Hanya rombongan PDAM Dompu. Di sinilah titik pertemuan dua air itu. Asin dan tawar.

Warga kampung yang mengambil air

Mada Oi Rao terletak di Desa Sori Tatanga, Kecamatan Pekat. Mata air Rao dikelilingi oleh Pepohonan warunya meliuk meliuk dan saling bersilang sehingga bisa dijadikan tempat duduk alami.

Saya duduk di salah satu satu batang yang berada di atas mata air. Menyantap makanan yang sudah dibawa dari Dompu. Sambil melihat air yang menyebul dari celah akar pepohonan waru. Deras sekali. Air semilir berhembus, angin laut pun berseliweran…teduhnya pepohonan waru…

Tak lupa, saya ingin merasakan airnya…rasanya seger dan dingin..khas mata air pegunungan. Namun uniknya, mata air Oi Rao berada tak jauh dari pantai. Bukan di pegunungan.

Ketika kami hendak pergi, beberapa warga datang ingin mengambil air menggunakan air menggunakan drigen. Saat ada event “Tambora menyapa Dunia” yang dilaksanakan selama 3 hari.

Mada Oi Rao menjadi penyuplai airnya. Balai Wilayah Sungai merencanakan akan membangun jaringan sistem perpipaan dengan menggunakan sistem perpompaan.

ceritanya sedang pose

karena mata air Oi Rao berada di dataran rendah, Mata Oi Rao tak bisa dialirkan secara gravitasi ke lokasi event Tambora di Pintu Gerbang Doro Ncanga, dimana elevasinya jauh lebih tinggi. Salah satu solusinya adalah menggunakan sistem perpompaan.
Kami melihat sekumpulan kerbau yang dilepas bebas di padang Sabana saat kami pergi hendak meninggalkan Mada Oi Rao.

Satonda Island akan menjadi tujuan perjalanan selanjutnya.
Pulau yang mempunyai danau dibagian tengahnya. Danau yang katanya terbentuk dari letusan gunung purba sebelum letusan Gunung Tambora. Bentuknya Danau segara anak Rinjani…

Toleransi ala Kasinem, berbisnis ala Tahok

Tahok

Tahok

Kasinem dan Tahok. Dua nama yang saya ingat saat mengunjungi Solo. Kepada dua orang ini harus banyak belajar tentang toleransi dan berbisnis. Seorang Ibu rumah tangga sekaligus penjaga warung di samping gereja HKBP Solo di daerah Sutami dekat kampus UNS Solo. Sedangkan, Riadi atau biasa dipanggil dengan sebutan “Tahok” adalah pemilik kos-kosan yang lokasinya tak jauh dari Gereja HKBP dan warung Kasinem.Saya datang ke Solo untuk mengikuti program Beasiswa STAR di Solo. Walau saya tak lulus program beasiswa, beruntung saya bertemu dengan mereka berdua.

Pertemuan saya dengan mereka juga tak disangka-sangka. Setelah tidur nyenyak di Hotel Kusuma Kartika Sari semaleman, saya ingin mencari hotel yang lebih dekat ke kampus UNS sekaligus ingin menghirup udara pagi di pinggiran kota Solo. Bukan udara pagi segar yang saya dapatkan, tapi polusi udara kendaraan bermotor bercampur dengan udara yang masuk ke dalam hidung saya. Aktivitas pagi ini begitu ramai. Kendaraan-kendaraan menuju ke arah kota solo. Dari luar kota maupun pinggiran kota solo. Daerah Sutami termasuk jalan lalu lintas utama jalur bis antar Provinsi. Bis-bis angkutan provinsi hilir mudik, Anak-anak berangkat sekolah, para pegawai dan karyawan juga tak kalah hilir mudik

Beberapa warung kopi pinggir jalan mulai dijajakan. saya menyusuri pinggir jalan raya yang nampak sepi yang ketika malam hari akan dipenuhi pangkalan pedagang kaki lima. di deretan pedagang kaki lima, ada warung SS-Special Sambel. Pedesnya sesuai namanya membuat bibir bergetar, keringat bercucuran bahkan air matapun tak tahan untuk tidak keluar. Tadi malam, saya ingin mencoba cicipi warung SS. Menu makanan hampir semuanya berawalan S alias “Sambe” Seperti Sambel Bawang merah, Sambel Bawang Putih, Sambel Teri, Sambel Mangga, dan berbagai jenis macam sambel lainnya.

Warung Ibu Kasinem disamping gereja Solo

Warung Ibu Kasinem disamping gereja Solo

Sambel yang paling banyak diminati dalam seminggu akan ditulis di papan pengumuman di pojok warung dekat dengan kasir. Sambel mangga termasuk salah satu sambel yang paling banyak diminati minggu ini. saya langsung memesan sambel mangga dan teri dengan segelas es jeruk. Lumayan lama menunggu untuk saya yang sudah merasakan kelaparan. Malam ini, pengunjung lumayan ramai. Beberapa pengunjung yang sedang makan merasakan aura pedas. Bibirnya bergerak-gerak merasakan aura kepedesan.

Beberapa menit kemudian, pesanan saya pun tiba juga. Sensasinya langsung menjalar. Bukan nikmatnya teri goreng yang saya nikmati, tapi mulut yang menari-nari kepedasan. Saya sering makan pedes tapi tak sepedas ini. saya paling hobi dengan sambel apalagi sambel mangga. Tapi, kali ini saya harus pasrah tak mampu menghabiskan sambel kesukaan saya. Bibirnya saya sudah ngilu. Saya tak menyangka, Solo yang selalu diidentikkan dengan masakan manis itu seketika berubah haluan menjadi serba pedes. Ampun wong solo.

Taman Budaya, Jawa Tengah

Taman Budaya, Jawa Tengah

Pagi ini, saya memesan bubur ayam di seberang Hotel Bintang, Samping pintu gerbang UNS. Rp5.000,00 cukup untuk mengisi perut pagi ini. duduk duduk santai di sekitar pintu gerbang sambil melihat hilir mudik mahasiswa. Melihat pengangkut sampah bertuliskan “inventaris kampung” sejenis motor Bajai buatan india berkaki tiga dengan gerobak di bagian belakangnya. Sangat cocok untuk mengangkut sampah sampah dari komplek atau di pedesaan. Beberapa mahasiswa sedang menunggu Bis kampus. Tak disangka, saya bertemu dengan kawan kerja saya, Budi. Dia baru saja tiba dari Jogja. Tiap hari dia pulang pergi Solo – Jogja. Dia berangkat sejak pagi buta. Budi asli jogja. Istrinya juga ditinggal Jogja. Budi juga sedang menunggu Bis kampus.

Mendekati jam masuk, banyak mahasiswa yang berdatangan. Terlihat tergesa-gesa memasuki pintu gerbang. Lalu lintas di pintu gerbang semakin ramai. Saya hampir ditabrak oleh seorang cewek yang mengemudikan mobil terburu-buru yang hendak masuk ke UNS walau saya sudah memberikan tanda “sign”. Dalam hati saya berfikir, saya sekali lagi telah salah menilai tentang orang Solo. Solo yang selalu diidentikkan dengan kelemahlembutan nampak begitu bringas. Saya cepat berlalu ingin mencari-cari penginapan.

Pertama, saya memasuki Hotel Bintang yang minimalis. Cukup Rp150.000,00 untuk kamar standar. Sayang seribu sayang, kamar dengan tarif 150.000,00 sudah habis dibooking oleh UNS. Yang tersisa kamar dengan harga 275.000,00. Alhasil, saya pun pergi meninggalkan hotel tersebut dengan sedikit kecewa. Kecewa tapi tak perlu terlalu dipikir.

Kosku selama 3 hari di Solo

Kosku selama 3 hari di Solo

Dengan langkah gontai, saya pulang. Melihat orang di sekitar warung di samping Gereja. saya berhenti dan menanyai seorang bapak berumur yang berada di samping warung. Suami ibu kasinem. dari sini, saya mendapatkan informasi bahwa rumah pak Parno yang menyewakan kamar harian. Tak perlu menunggu lama, saya langsung meluncur ke rumah bertingkat dengan sebuah warung sederhana.

Alhamdulillah mendapatkan kos harian dengan tarif Rp200.000,00 selama tiga hari. Lumayan hemat daripada menginap di hotel. Sebetulnya kamar yang ingin saya tempati ini kamar yang biasa ditempati Tahok-Riadi. Akhirnya, Tahok mengalah tidur bersama orang tuanya di warung sederhananya. Tahok sesederhana warungnya. Tampangnya kurus, suka tidur, dan cenderung males-malesan. Umurnya dah melebihi kepala tiga, tapi belum berencana menikah. Saat kutanyai kenapa belum menikah. Dengan santai dia menjawab “belum ada yang mau sama saya”. Kampungnya dekat kampus tapi dia hanya lulusan sekolah menengah atas. Ntah lah kenapa dia tak melanjutkan sekolah lagi.

Bus Kampus

Bus Kampus

Karena tampangnya yang selalu santai dan bermalas-malasan, saya menyarankan dia agar mencari kerja. Itu sebelum saya tahu bahwa dia sudah membangun kos-kosan sebanyak 15 kamar dengan tarif per kamar sekitar Rp500.000,00. Tanpa bekerja pun alias bermalas-malasan dia sudah menghasilkan Rp90.000.000 per tahun. Atau paling apes 60 jutaan per tahun masih lumayan besar dibanding penghasilanku. Sebuah penghasilan menakjubkan tanpa bekerja. Dia hanya menunggu passive income itu datang sendiri. Kamarnya rata-rata di kos secara tahunan. Sebagian dari penghasilan dia sisihkan untuk menyicil pinjaman di bank. Tahok tidak serta merta langsung memperoleh penghasilan sebesar itu. Dia mengawalinya dari sebuah hobi pertamanya-playsation. Lambat laun playstationnya maju dan berkembang. Melihat tanah bapaknya yang kosong, dia mencoba peruntungan lain di hobi keduanya-tidur alias membangun tempat tidur bagi yang suka tidur.

Playstationnya dia jual. Sebagian hasil penjualannya dan uang bapaknya dia gunakan untuk membangun pondasi pertama kos-kosan. Kekurangan dia pinjam ke Bank sekitar Rp100.000.000,00. Dari hasil kos-kosan itu, dia bisa nyicil hutang ke bank. Tentu dengan hanya bermodalkan hobi-tidur. setelah pinjamannya lunas dia berencana membangun warung ibunya menjadi kos-kosan dan warung. Walaupun dia mendapatkan passive income tanpa bekerja-penghasilannya melebihi saya menjadi pegawai, dia tetaplah Tahok yang seperti dulu: sederhana, kurus, dan tidak neko-neko. Akhir-akhir ini hobinya nambah satu lagi: bermain badminton.

menyusuri jalan utami

menyusuri jalan utami

Lain Tahok, lain juga Ibu Kasinem. penjual warung di samping tembok Gereja HKBP. Ibu Kasinem beragama islam, suaminya beragama Kristen. Dia bisa berjualan di samping gereja karena suaminya. Saya bertemu dengan Kasinem di warungnya saat saya mau sarapan pagi. Dia bercerita awalnya suaminya ketika masuk islam namun ketika sudah menikah suaminya kembali ke agama asalnya. Ibu Kasinem tidak marah atau benci. Dia tetap cinta dan bersama suaminya hingga akhirnya dikarunia tiga orang anak. Anak pertamanya cewek tinggal di Tangerang bersama suaminya.

Keyakinan anak ibu kasinem pun ikut suaminya yang beragama Kristen dan dua orang cowok. yang kedua terpaksa menikah karena hamil. Hamil ketika masa sekolah. Dia pun terpaksa membuka bengkel di samping warung ibunya. Anak yang kedua juga ikut agama istrinya, Kristen. saat menantu dari anak keduanya masuk warung, Ibu Kasinem memberikan tanda ke saya itulah “menantunya”. Ibu Kasinem pun menceritakan asal muasal menantunya yang berasal dari anak dosen di kampus UNS.

Warung Kopi

Warung Kopi

Anak ketiganya kerja di bagian pelayaran dan belum menikah dan beragama islam. Dan semoga tetap beragama islam bersama ibunya. Biar seimbang hehe..Ibu Kasinem pun sering mengingatkan anaknya agar shalat. “saya sering ingatkan anak saya agar shalat dan tak lupa Tuhan, katanya meyakinkan saya. anaknya selalu mengirimkan ibunya duit belanja. Sebagian hasilnya juga sudah dibelikan motor yang pernah hilang tapi ketemu lagi. Duit yang dikirimkan anaknya beliau tabung. “Sapa tahu bisa bangun atau perbaiki rumah ini mas,” katanya kepada saya.

Penghasilan anaknya sebulan lumayan besar bagi saya. Ya setidaknya beberapa kali lipat dari penghasilan saya sebulan.

“Tak perlu lah meributkan agama mas, Yang penting kan hatinya baik,” katanya saat menjelaskan kepada saya. Itu lah makna toleransi yang sebenarnya. Hubungan manusia dengan manusia tetaplah harus dijaga. Ibu Kasinem mengajarkan bagaimana cara bertoleransi walau kedua anaknya berpindah agama bahkan ketika suaminya kembali ke agama asalnya. Ibu Kasinem sudah berusaha tapi itulah takdirnya. Penganut antar umat agama saling menghormati. Ketika anak-anak dan suaminya merayakan hari besar agama, Ibu Kasinem menghormatinya sebagaimana mereka juga menghormati ketika dirinya merayakan hari besar agamanya.

Di gang Pucang Sawit RT 04 RW 01, tak jauh Gereja HKBP Solo, saya menemukan orang-orang dimana saya harus mengambil pelajaran kehidupan dari keduanya tentang Toleransi ala Ibu Kasinem dan Berbisnis ala Tahok.

Menelusuri Jejak Jokowi di Solo

Dari Lantai dua, Kartika Sari (Caderabdul)

Dari Lantai dua, Kartika Sari (Caderabdul)

Pukul 07.00 WIB saya tiba di Bandara Adi Soemarmo, Solo. lokasinya terletak di luar kota Solo sebagaimana bandara-bandara pada umumnya di Indonesia seperti Soekarno Hatta yang berada di wilayah Provinsi Banten atau Bandara Juanda yang berada di Sidoarjo. Saya menyempatkan diri untuk shalat Magrib terlebih dahulu di Bandara. Suasana Bandara yang biasanya tampak terlalu ramai dan sibuk tak terlihat di sini. Tujuan saya adalah salah satu hotel di sekitar Kampus UNS, Solo. Saya hendak menuju terminal Solo kemudian naik bis yang menuju ke arah sana. Bis Damri yang biasanya menunggu penumpang turun, waktu itu nampak diam di bawah pohon dengan penerangan temaram lampu.

Polisi dan Petugas bandara memberitahuku agar naik Bis Damri tersebut. Setelah kutunggu beberapa lama, bis tak beranjak dan tak seorang penumpang yang ingin naik bis salah satu BUMN transportasi ini. diam. Saya pun ikutan diam sendiri di salah satu trotoar taman bandara tak jauh dari Bis Damri tersebut. Daripada menunggu Bis Damri tak jelas kapan berangkatnya, saya memutuskan untuk naik taksi. Harganya 120 ribu. Lumayan mengoras dompet yang mulai menipis.

Tujuanku adalah hotel di sekitar kampus Solo, hotel Kartika Sari atau Hotel Bintang. Sopir taksi menyarankanku di Kartika Sari karena Hotelnya lebih besar dan bagus. Saya memutuskan memilih Kartika Sari sesuai saran sopir. Taksi kami berjalan menyusuri pinggiran Kota Solo. Keluar dari komplek Bandara, kami melewati jalan pintas yang membelah sawah-sawah. Sedikit gelap dan sepi. Ada rasa kawatir. Lewat jalan sini lebih cepat mas, kata Sopir saat kutanyai kenapa lewat jalan ini. Setelah itu, kami hanya melewati pinggiran kota Solo. Rumah pinggiran dengan trotoar jalan seadanya.

Di atas mobil taksi ini, obrolanku teringat Mantan Walikota Solo yang menjadi Presiden sekitar lima tahun lalu. Sopir taksi itu diam sejenak saat saya menanyainya tentang perkembangan Kota Solo sejak Jokowi mimpin Solo dengan gaya blusukannya itu. banyak perubahan yang dia lakukan mas pas jadi walikota, namun, pas sudah jadi presdien belum banyak perubahan mas. Saya hanya mengangguk dan mendengarkan sang sopir taksi.

Sejatinya, saya mengenal Jokowi sebelum jadi presiden bahkan sebelum terkenal seperti sekarang. Pada tanggal 26 Oktober 2009 Jokowi hadir dalam acara Forum Kehumasan salah satu instansi Pemerintah Bidang Pengawasan di Hotel Kusuma Sahid,Solo. Jokowi menjadi salah satu pembicara dan memaparkan kesuksesan pemindahan Pedagang Kaki Lima-PKL tersebut dengan tema “Slum Ugrading in Solo, Indonesia” dengan latar belakang suksesnya kirab pemindahan PKL di Kawasan Monumen 45 ke Pasar Klithikan Notoharjo. Bahkan, saya juga pada akhirnya bisa menyaksikan pasar Klithikan yang menjadi lokasi pemindahan PKL Monumen 45. Kawasan PKL ini memanjang dan berjejer di pinggir jalan. Di depannya komplek PKL, ada railbus yang akan menjadi salah satu andalan transportasi bus yang menggunakan rel di Kota Solo. Di tengah-tengah rel, ada sebuah panggung kecil dan sederhana. Ini lah panggung karaoke sederhana di tengah-tengah rail. Sederhana tapi tetap berkesan. Para pengunjung PKL bisa menyumbangkan suaranya di lokasi Karaoke ini.

Kamarku yang penuh dengan kasur-kasur

Kamarku yang penuh dengan kasur-kasur (hanya nginap semalam)

Yang membedakan pemindahan PKL di Solo adalah caranya: memanusiakan manusia, memuliakan warga. Berdiskusi dan diajak untuk memecahkan permasalahan kota bersama-sama. Sejatinya, kebijakan-kebijakan pemerintah daerah perlu dikomunikasikan kepada warga masyarakat yang akan terkena langsung dengan kebijakan tersebut.Satpol PP tidak dikerahkan untuk memukuli para PKL tapi untuk mengayomi mereka. Bahkan untuk mensukseskan proses pemindahan PKL tersebut, Jokowi menjadikan pemindahan ini sebagai sebuah acara Agung: Kirab, yang biasanya dilakukan hanya untuk acara-acara besar keraton juga dilakukan untuk memindahkan para PKL.

Para PKL kami undang untuk duduk bersama membahas masalah PKL. Untuk memindahkan mereka, kami traktir mereka makan malam. Mungkin sudah puluhan kali, kami mentraktir mereka, paparnya waktu itu. Saya yang ikut duduk menyaksikan pemaparan Jokowi terbesit agar Jokowi menjadi Gubenur Jakarta.

Jokowi sukses membawa perubahan besar untuk Kota Solo, hingga ia dilirik untuk mengubah wajah Jakarta. Jokowi pun akhirnya rela melepas jabatan walikotanya untuk menjadi Gubernur Jakarta. Jokowi terpilih jadi Gubernur Jakarta bersama wakilnya, Basuki Cahya Purnama atau biasa dipanggil “Ahok” mengalahkan Gubernur Incumbent Fauzi Bowo yang dinilai gagal oleh banyak kalangan dalam membenahi Jakarta. Sesuai dugaan dan firasatku Jokowi menjadi Gubernur Jakarta. Namun, jabatan gubernur ini tak berlangsung lama. Jabatan Gubernur hanyalah menjadi loncatan Jokowi sebelum menjadi presiden.

Banyak pekerjaan rumah janji kampanye yang belum terlesaikan di Jakarta. Banjir, Macet, PKL, Monorail, dan Subway adalah problem utama Jakarta yang belum teruraiakan. Membereskan Jakarta ibarat menguraikan benang kusut yang bercampur lumpur hitam. Susah dan perlu kesabaran. Tapi, ketika benang itu mulai kelihatan, maka program penyelesainnya akan terasa lebih gampang.

Banjir dan Macet adalah bisa dipecahkan. “Dananya ada, kita tinggal mau atau tidak,” katanya dalam suatu saat ketika kampanye Gubernur Jakarta. Permasalahan Jakarta belum usai, Jokowi menerima mandat dari Ibu Suri “Megawati” untuk menjadi Calon Presiden. Permasalahan Jakarta akan cepat terselesaikan kalau saya jadi presiden, katanya ketika ditanya permasalahan Jakarta yang menumpuk. Jokowi terpilih menjadi Presiden Indonesia setelah mengalahkan Prabowo dengan selisih tak terlalu jauh. Kebijakan-kebijakan yang kontra-produktif dan kontroversial mengemuka. Kabinet ramping yang dia janjikan tak terlaksana. BBM naik saat harga minyak turun bahkan pada masa Jokowi lah BBM sudah tidak disubsidi lagi mengikuti harga pasar dunia. Jabatan Jaksa Agung dan Kapolri terus menjadi polemik. Bahkan, KPK pesimis dengan kepemerintahan Jokowi. Kerjasama antara Proton (Malaysia) dengan PT Adiperkasa yang disaksikan Langsung oleh Jokowi dan Mahathir Muhammad seakan menambah ketidakberdayaan Jokowi menegakkan akal sehat. Program dan kebijakannya banyak yang ditujukan untuk sekedar balas budi saat kampanye. PT Adiperkasa adalah perusahaan AM Hendropriyono, yang tak lain adalah salah satu tim sukses Jokowi.

Pemaparan Jokowi saat menjadi walikota Solo

Pemaparan Jokowi saat menjadi walikota Solo

Kerjasama ini digadang-gadang akan menjadikan proton sebagai Mobil Nasional Indonesia. Kerjasama ini dinilai sebagai balas jasa. Jokowi membantah bahwa kerjasama ini adalah murni business to business. Lalu yang menjadi pertanyaannya adalah kemana kah mobil Esemka besutan anak-anak SMK di Solo yang dulu digadang-gadang akan menjadi Mobil Nasional?.

Kemanakah Jokowi yang dulu pro rakyat saat dulu memimpin solo dengan hati itu?.kemana kah Jokowi yang saya saksikan lima tahun lalu saat memaparkan gebrakan-gebrakan di kota Solo? Akh Jokowi sudah banyak dikelilingi para politikus yang hanya memikirkan kepentingannya sendiri. “Anda belum move on yach,” begitu kata para pendukungnya ketika kebijakan-kebijakan banyak ditentang di ranah dunia maya.

Dalam keremangan Kota Solo, taksi yang saya tumpangi memasuki Kusuma Kartika Sari Hotel. Kemegahan dan luasnya Gedung tertelan oleh pekatnya malam. Saya langsung disambut oleh seorang resepsionis. Seorang resepsionis setengah baya menyodorkan saya daftar harga kamarnya. Ku lirik harga yang paling murah Rp175.000 dengan fasilitas pendingin ruangan. Saya berniat bermalam di sini semalam saja. Karena mulai besok, hotel ini akan dibooking pelajar dari Jakarta. Tiap kamar sudah ditambahi extra bed termasuk kamar saya yang akan digunakan malam ini. Bunyi pendingin yang menderek-derek karena terlalu uzur. Malam ini saya terlelap ditemani pendingin ruangan yang terlambat dimasukkan ke tukang loak.

Rumah Teletubbies “The New Ngelepen”

Selamat Datang

Selamat Datang

Rumah Dome. orang biasa menyebutnya dengan sebutan “rumah Teletubbies”. Rumah dome satu-satunya yang ada di Asia Tenggara. Lokasinya tak jauh dari komplek Candi Ratu Boko dan Candi Banyunibo. Sekitar 40 menit dari Kota Jogjakarta.

Terletak di Dusun Nglepen, Desa Sumberharjo, Kec. Prambanan, Kab. Sleman, Yogyakarta. Bentuk rumahnya bulat-bulat setengah lingkaran seperti rumah Teletubbies yang biasa kita tonton di televisi. Rumah Dome berjumlah 80 unit.71 Rumah Hunian untuk warga setempat dan 9 rumah yang diperuntukkan untuk fasilitas umum seperti Musholla, Aula, Polindes dan MCK.

Rumah Dome diinisiasi oleh Lembaga Masyarakat Non Pemerintah dan Domes for The World Foundation untuk membantu masyarakat yang terkena dampak gempa bumi pada tahun 2006. Rumah Dome dengan bentuknya yang setengah bulat memang dirancang supaya tahan terhadap guncangan gempa bumi.

Pembuatan rumah dome atas sokongan dana dari Ali Alabar, seorang pemilik Emaar Property yang berasal Dubai, Timor Tengah. Beliaulah yang berjasa untuk mewujudkan rumah “Teletubbies” itu.

Sebetulnya saya tak berminat untuk pergi ke “Rumah Teletubbies” ini. bukan karena alasan tak menarik, tapi takut awan-awan hitam itu menumpahkan uap air yang menggelantung. maklum, Cuaca jogja akhir-akhir sering berawan. Awan hitam menggelayut di langit Jogjakarta. alasan lain adalah karena setelah setengah hari menyusuri Taman Sari dan beberapa candi Jogjakarta seperti Candi Sambisari, Plaosan, dan Banyunibo. Dan, saya masih punya satu kunjungan lagi yaitu candi Ratu Boko sebelum saya berangkat ke Bandara. saya ditemani andri anto setiawan, kawan saya yang menjemput dan mengantarkan saya ke beberapa tempat di Jogja tersebut.

Mushalla Teletubbies

Mushalla Teletubbies

Memasuki Dusun Ngelepen, saya langsung disambut dengan barisan rumah-rumah setengah bulat dengan rindangnya pepohonan di setiap masing-masing rumah. Dusun Nglepen terpisahkan dengan sebuah sungai dengan dusun lainnya. Awan hitam menggelayut seakan hendak memuntahkan hujan yang deras, namun saya tetap berjalan menyusuri kawasan rumah Teletubbies

The New Ngelepen begitu nama dusun Nglepen baru. Barisan rumah-rumah Teletubbies yang berjajar rapi di kanan kiri jalan. komplek perumahan yang juga berbentuk melingkar. Tulisan ”The New Ngelepen” dipasang menggantung di pintu gerbang yang bentuknya sama dengan rumah dome. Pintu gerbang ini berada di tengah tengah perkampungan sebelum kita memasuki kampung. Di tiap sisi pintu gerbang, tertulis nama inisiator, pemerintah dan perusahaan pendonor dan prasasti penandatanganannya. Di sisi kiri, “EMMAR”, di sisi kanan, terpampang dengan gagahnya Lambang Garuda Pancasila dan tulisan “Domes For The World”.

Seakan ingin memberitahukan kepada dunia bahwa Rumah Dome “Ngelepen” atas kerja sama beberapa pihak seperti prasasti yang menempel di pintu gerbang.

Delapan tahun telah berlalu, Rumah-rumah Dome sebagian telah banyak mengalami penambahan. Bentuknya tak berubah tapi ada beberapa penambahan di bagian depan dan belakang serta samping seperti untuk warung, dapur dll. Ku pandangi ke segala arah. Pepohonan rimbun telah menutupi bagian-bagian rumah dome. hijau. banyak didominasi oleh pohon kelapa.

warung-warung Teletubbies

warung-warung Teletubbies

Saya berdiri memandangi masjid dan beberapa papan informasi yang berada di tengah kampung tersebut. Tak jauh dari pintu gerbang tersebut. Tiba-tiba seseorang memanggilku mempersilahkan masuk ke salah satu Dome. “Mas, silahkan masuk sana dulu mas. Isi buku tamu dulu”.

saya memasuki sebuah rumah dome yang tak jauh dari mushalla Dome itu. “Sekretariat Rumah Dome” tertulis menggantung di pintu masuknya. akh saya penasaran gimna interior di dalamnya. seperti rumah biasa kah atau. seorang remaja menyambut saya dan menyodorkan buku tamu. silahkan mas, diisi buku tamunya. biaya masuknya Rp3000,00 per orang dan biaya parker motornya Rp2000,00, imbuhnya.

Di situlah saya membubuhkan tanda tangan dan maksud tujuan saya berkunjung ke rumah dome sambil sesekali memperhatikan interior rumah Dome ini. sesekali saya mengerling rumah mungil ini. sebuah tangga kayu berada di tengah-tengah bangunan yang menghubungkan lantai satu dengan lantai dua. Rumah dome terdiri dari dua lantai. Ruangan bawah difungsikan untuk ruang tamu, ruang makan, dapur, kamar mandi serta tempat tidur. Sedangkan di lantai dua biasanya diperuntukkan untuk ruang keluarga dan kamar tidur, kata petugas tersebut. seorang remaja wanita menuruni tangga. akh mungkin dia juga petugas sekretariat rumah dome ini, batinku.

Saya merasa nyaman memasuki rumah Dome ini. Hawanya sejuk dengan luas bangunan sekitar 38 dengan tinggi bangunan hampir mencapai 5 m. Diameter ruangan sekitar 8 m, lumayan cukup luas untuk sebuah rumah mungil dan sederhana.

Rumah dome dirancang tahan gempa dan juga tahan terpaan angin hingga 450 km/jam. Titik lemah bangunan ketika diguncang gempa adalah titik sambungan. Rumah dome memang dirancang tanpa titik sambungan dengan cara membuat cetakan rumah berbentuk balon atau airform. Airform ini langsung didatangkan dari luar negeri. Yang didatangkan dari luar negeri tidak hanya airform, tapi juga blower. Yaitu alat yang digunakan untuk mengisi cetakan yang sudah dipasang tersebut.

Rumah Dome Jogja hanyalah pilot project yang dananya berasal dari bantuan luar negeri. Masih banyak daerah-daerah yang rawan gempa lainnya yang perlu sentuhan tangan pemerintah. Tenaga ahli tidak tidak kalah dengan Negara lain. Airform dan Blower perlu dibuat sendiri oleh pemerintah sehingga tak perlu lagi mendatangkan dari luar negeri.

Teletubbiesnya di mana yach?

Teletubbiesnya di mana yach?

Perkampungan rumah Teletubbies yang memiliki luas tanah sekitar 2 hektar ini memang dikonsep menjadi desa wisata. Dusun yang terlupakan ini akan menjadi salah satu daya tarik jogja ke depan selain candi, Keraton dan pantai parangtritis.

Beberapa paket wisata disediakan di kampung teletubbies ini seperti Paket Permainan, Paket Tracking, Paket Kegiatan, Paket Kesenian, Paket Ultah, Outbond dan segala macam permainan seperti pemancingan anak, mandi bola, sepeda unik, mobil-mobilan dan kereta anak.

Bagi yang ingin bermalam di The New Nglepen, juga terdapat Paket Homestay seharga Rp120.000,00 per malam dengan fasilitas makan,Snack welcome drink dan pemandu.

isi buku tamu

isi buku tamu

Ada satu hal yang jangan sampai kita lewatkan ketika berkunjung ke rumah Dome adalah bertemu dan berpose dengan Badut Teletubbies itu. Sayang, saya belum beruntung bertemu dengan the Teletubbuies. Yang ada hanyalah banner yang dipasang di pinggir jalan pintu masuk kompleks Dome

Harga tiket masuk ke desa teletubbies ini hanya sebesar Rp3000. Relatif murah untuk kunjungan unik seperti ini.

Perlahan namun pasti, The New Ngelepen akan bangkit setelah terpuruk karena gempa. Dan The New Ngelepen akan menjadi salah satu alternatif wisata jogja.

Semoga makin banyak dome-dome lain di Indonesia, dan makin banyak pula desa-desa wisata dan ini: pemerintah tidak pernah lupa bahwa masih banyak daerah-daerah rawan gempa yang perlu dipoles.

akh masak gituw aja harus menunggu bantuan luar negeri.

Sumber: Wikipedia

Paserang, satu di antara delapan

 

Paserang From the Top Hill

Paserang From the Top Hill

Nanjak Bukit Padang Savana

Nanjak Bukit Padang Savana

Paserang. Saya sudah jatuh cinta dengan pulau ini sejak berada di tengah laut. Menyaksikan indahnya mentari sore dari atas laut. Baru kali ini saya menyaksikan mentari terbenam langsung dari tengah laut. Di perairan Selat Alas. Bersama 7 kawan kami.

Mendarat di pulau ini, saya semakin cinta dengan pulau ini. Pulau dengan bukitnya dengan rumput rumput meranggas berwarna kecoklatan dengan ditaburi cahaya senja yang indah.

Pulau Paserang termasuk salah satu pulau dari delapan pulau-pulau yang berada di selat Alas yang lebih dikenal dengan sebutan Gili Balu’. Gili Balu’ itu antara lain P. Belang, P. Kambing, Paserang, Kenawa, Ular, Mandiki, Namo dan Kalong. Gili Balu’ akan dikembangkan menjadi calon kawasan Konservasi perairan daerah pemerintah daerah kabupten Sumbawa Barat (KSB).

Dulu sebelum lalu lintas Lombok Sumbawa menggunakan Kapal Ferry, Paserang pernah menjadi pulau barter-tempat bertemunya pedagang dari pulau Lombok dan pulau Sumbawa. Hingga sekarang, pulau ini dikenal dengan sebutan pulau Pasar/Paserang. Pulau Paserang ini tak berpenghuni layaknya pulau-pulau kecil di Nusa Tenggara Barat.

Kesunyian akan hilang seiring dengan majunya parisawata di Nusa Tenggara Barat. Pemerintah Provinsi NTB sedang giat-giatnya meningkatkan jumlah wisatawan yang akan datang ke NTB. Target 1 juta wisatawan telah terlewati beberapa tahun lalu. Beberapa penerbangan internasional digalakkan. Lombok-Perth dan Lombok-Malaysia. Sayang, pada bulan Oktober 2014, penerbangan Lombok Pert terhenti. Perusahaan penerbangan Jetstar asal australia mengaku rugi karena rendahnya tingkat keterisian pesawat. Pemerintah menilai bahwa perusahaan penerbangan itu mengalami kesulitan keuangan bukan karena load factor. Penutupan penerbangan Lombok Perth berpengaruh kepada jumlah wisatawan asal Australia.

Romantisme padang savana

Romantisme padang savana

Bahkan, Pemerintah daerah akan membantu Jetstar dengan mengalokasikan anggaran sebesar Rp1 miliar sebagai bentuk kerja sama promosi pariwisata melalui perluasan basis pasar.

Namun manajemen Jetstar tetap akan menutup rute Lombok Perth. Pemerintah berusaha menggaet perusahaan lain seperti Garuda dll. Semoga ini menjadi titik terang solusi penerbangan internasional di lombok.

Wisatawan Australia menganggap bahwa Lombok adalah sister island-Bali 1980an. Lombok masih alami dengan alam yang masih terjaga. Kealamian Itulah yang menjadi alasan kenapa Lombok punya daya tarik tersendiri daripada Bali yang terlalu overexploitasi.

Majunya pariwisata lombok juga berpengaruh terhadap pulau-pulau tak berpenghuni termasuk di daerah perairan alas ini. Investor-investor akan melirik pulau-pulau yang masih perawan.

Pulau-pulau tak berpenghuni itu akan dikelola secara profesional. Pemerintah mendapatkan hak penyewaanya. Simbiosis mutualisme. Pulau Kenawa akan dikelola oleh PT ESL sedangkan Pulau Paserang dikelola oleh PT. NOP Perwakilan NTB (Nusantara Oriental Permai).

Sebuah Resor “Paradise Ressort dan Cottage” akan dikembangkan di Paserang dengan 350 Cottage termasuk 90 Cottage dengan konsep Water Villa. Paserang akan dikembangkan menjadi “Maldives” Indonesia. Ada enam Cottage yang sudah dibangun. Kayu-kayu Cottage dan pekerjanya dibawa langsung dari tomohon. Inilah bangunan satu-satunya yang benar asli dari Tomohon yang ada di sumbawa.

Paserang akan menjadi salah satu daya tarik wisatawan. Pulau Paserang berbentuk bulat dengan sebuah bukit yang dikelilingi barisan pasir putih. Terumbu karang yang cantik di sekitar dermaga.Tak hanya itu, Paserang memiliki daya tarik dengan konsep “padang savana “ nya. Rumput-rumput kering meranggas berwarna kecoklatan memanjakan mata.

puncak bukit itu

puncak bukit itu

Semburat warna jingga kemerahan menghiasi langit pulau Paserang. Seorang perempuan setengah baya dan dan beberapa pekerja menyambut kami dan mempersilahkan untuk menempati dua Cottage. Rombongan kami berjumlah 17 orang. Seorang Perempuan itu adalah Tendri Niwik, Direktur PT NOP NTB.

Rombongan kami sebanyak 17 orang akan menginap di dua Cottage malam ini secara gratis. Ya gratis. Hadiah terindah dalam perjalanan kami malam ini. Cottage ini masih gratis karena memang belum dibuka untuk umum. Terima kasih Bu Tendri. Kami akan kembali insyaalloh.

Alhamdulillah malam ini akan menginap di Cottage tanpa springbed setelah sebelumnya kami sudah tidur di atas pasir pototano. Cottage ini belum ada fasilitas air tawar maupun segala fasilitas yang biasanya tersedia di cottage.walaupun seperti itu, fasilitas penerangan sudah ada di pulau ini. ini lah yang terpenting.

air tawar di Paserang sangat mahal karena harus dibawa dari pulau Sumbawa. Air tawar hanya ada di bak penampungan yang hanya dipergunakan untuk keperluan tertentu seperti berwudhu. Air untuk mandi dan buang air besar kami menggunakan air laut.

Berpose

Berpose

Kami melewati malam di pelataran Cottage dengan bermain kartu dan bernyanyi. Kecuali jefry dan Daffa yang akan melewati malam di paserang di pinggir pantai dengan api unggun yang menyala-nyala.

Pagi-pagi buta, langit-langit Sumbawa dihiasi semburan cahaya merah matahari terbit. Sinarnya bersinar menembus kamar Cottage kami. Melewati sela-sela padang savana meranggas kecoklatan. banyak cara kami melewati pagi ini dengan saling bernarsia ria, berteriak-teriak tidak jelas di antara padang savana paserang. Merasakan deburan ombak dengan semilir angin di pagi hari.

Pagi ini, kami menaiki bukit paserang. Dari Puncak bukit, kami lebih leluasa menikmati keindahan pulau paserang dengan padang savananya. Mentari pagi yang memendarkan warna merah menyelimuti paserang pagi ini. saya membayangkan kalau Paradise Ressort dan Cottage sudah semuanya selesai dibangun. Tanah lapang dan pantai pesisir barat Paserang akan dipenuhi Cottage dengan berbagai fasilitas. Dalam hati saya berfikir agar bisa kembali setelah pembangunannya selesai.

Inside of Cottage

Inside of Cottage

Di tepian pantai, dua kawan saya, Jefry dan Daffa sedang berjalan seperti sedang menginjak sesuatu di dalam air. Pagi ini air laut sedang surut sehingga terumbu karang-terumbu karang yang biasanya di dalam laut muncul ke permukaan. Jefry dan Daffa mencari sesuatu dibalik terumbu karang : ikan Sebelah.

Di Pinggiran pantai, saya hanya memperhatikan jefry dan daffa yang sedang mencari ikan sebelah. Beberapa kali Daffa menginjak pasir-pasir agak keras. Jeffry duduk dengan cara jongkok tepat di samping Daffa. Ya begitulah cara mencari ikan sebelah: menginjak-nginjak pasir. Kawan-kawan lain siap siaga untuk mengambil ikan yang yang biasa bersembunyi di balik pasir itu.

Beberapa Daffa dan Jefry berpindah-pindah tempat. Lumayan cukup susah menangkap ikan bertubuh licin. Perjuangan jefry akhirnya terbayarkan setelah beberapa kali berpindah. Ikan berwarna belang dengan bentuk yang cukup unik. Separuhnya badannya berkulit gelap, separuhnya lagi tanpa kulit dengan warna dasar putih. Persis seperti ikan yang separuhnya diambil kulitnya. Inilah keunikan ikan sebelah.

Flatfish atau Ikan sebelah hidup seperti bunglon dengan menyesuaikan warna tubuhnya dengan lingkungannya. Ikan sebelah sering disebut juga sebutan ikan sisa nabi. Orang-orang nelayan Bajo yang saya temui di sana juga menyebutnya sebagai ikan Sisa Nabi.

Alkisah, Nabi musa akan bertemu dengan Nabi Hidir di perbatasan dua laut. Keberadaan Nabi Hidir ditandai dengan hidupnya ikan yang separuh badannya sudah dimakan oleh Nabi Musa tersebut. Itu terjadi saat Nabi Musa beristirahat setelah melakukan perjalanan panjang. Nabi Musa dan pembantunya beristirahat dan kemudian memakan bekal yang dibawanya dari tadi termasuk ikan yang baru dimakan separuhnya. Setelah melepas lelah, Nabi Musa dan Pembantu melanjutkan perjalanan kembali.

Hari ini, di pulau paserang ini saya baru merasakan lezatnya ikan sebelah atau ikan sisa nabi ini. dagingnya sedikit kenyal tapi empuk. Cara memakannya unik: dimulai dari tubuh terluar kedalam seperti seorang yang sedang menguliti daging kambing. Bagi kawan-kawan yang sempat menginap di Paserang, sempatkanlah merasakan lezatnya daging ikan sebelah ini.

Pagi ini, kami akan menikmati hamparan terumbu karang pulau Paserang. Sejak pagi, sebelum kami snorkling. Saya sudah melihat hamparan terumbu karang yang muncul di permukaan. Bagi yang tak ingin berbasah-basahan kita bisa menikmati terumbu karang dari atas Dermaga. Paserang memang menawarkan wisata bahari yang sangat memukau. Terumbu karangnya beragam dan dangkal. Saking dangkalnya, jika kita snorkling kurang berhati-hati, anggota badan kita bisa terluka terkena goresan terumbu karang yang terlalu dangkal.

Bu Tendri Niwik dan anaknya saat menyambangi kami sebelum kami pulang

Bu Tendri Niwik dan anaknya saat menyambangi kami sebelum kami pulang

seorang anak laki-laki Ibu Tendri Niwik, Oki namanya. Dia sedang duduk bersama pekerja di atas darmaga. Oki banyak bercerita tentang keadaan pulau paserang serta progres pembangunan resort di paserang. pagi itu, kami lebih banyak menikmati indahnya terumbu karang di sekitar dermaga. Melihat kawan-kawan kami yang mengejar penyu yang berenang dan merasakan deburan ombaknya. Melihat arus laut yang memutar-mutar tak jauh dari tempat snorkling. Arus laut yang cukup membayakan bagi snorkler pemula seperti saya. para snorkler kadang sering tak sadar bahwa dia telah dibawa ke tengah laut. Tau-tau kita sudah berada di tengah laut.

“Cottage ini dibuat oleh orang Tomohon asli. Mereka langsung dibawa dari sana. Kayu-kayunya juga dibawa langsung dari Tomohon. Kayu-kayunya berasal kayu besi. Atapnya juga berasal kayu besi. Kayu besi ini bisa bertahan 50 tahun dan tahan terhadap segala cuaca”, kata Oki yakin. Bahkan, Istana Kerajaan Sumbawa terbuat dari Kayu, imbuhnya. Saya hanya mengangguk mengiyakan semua jawabannya. Kayu Besi memang merupakan salah satu yang kuat terhadap Cuaca: Panas dan Hujan. Di Tomohon sana, Kayu besi banyak digunakan untuk membuat kapal-kapal Phinisi yang terkenal seantero dunia.

Dari Dermaga, saya merasakan desiran angin laut sambil memandangi pulau kambing dan pulau Belang yang bersebelahan. di Pulau Belang banyak danau-danau air asin yang berada di tengah-tengah pulau. Itu lah penjelasan yang kami dapatkan dari anak perempuan Ibu Tendri. Bahkan kami disuruh agar menyempatkan pergi ke pulau belang melihat laguna-lagunanya dan merasakan masakan-masakan lautnya yang lezatnya. Akh mungkin suatu saat saya bisa mengunjungi laguna-laguna seperti yang disarankan.

Saat matahari sedang teriknya, Ibu Tendri Niwik, Direktur PT NOP mendekati kami yang sedang berkemas-kemas untuk meninggalkan paserang. Bu Tendri datang bersama anak perempuannya lengkap dengan topi khas pantainya. Beliau berpesan bahwa “kalau ada orang atau wartawan tanya apakah kami menarik tarif atau tidak. Bilang aja tidak. Cottage ini masih gratis karena memang dibuka kepada umum.” Di Sumbawa Barat ini ada delapan gili “Gili Balu’ ,“imbuhnya. Di sana ada pulau tikus-maksudnya pulau Kenawa karena bentuknya seperti tikus, katanya sambil telunjuknya menuding nuding pulau kenawa. Memang, ketika pulau Kenawa dilihat dari Google Maps seperti tikus. Tikus raksasa. Masyarakat Sumbawa terbiasa menyebut pulau Kenawa dengan sebutan pulau tikus.

Di sisi barat pulau Paserang, ada dua pulau yang saling bersebelahan: Pulau Belang dan Pulau Kambing. jaraknya dari paserang juga tak terlalu. Ntah lah apakah Pulau kambing juga dinamai sesuai bentuknya yang seperti kambing. “kalau ke sini, sekalian aja main ke Pulau Belang, di sana banyak ikan-ikan enak dan murah-murah seperti Kepiting dan Gurita. 20 ribu sampai 30 ribu dah kenyang tuh. Di pulau Belang juga ada laguna-lagunanya. Mending pulangnya sekalian mampir sana, nanggung dah ke sini” kata anak perempuan Bu Tendri mengiming-imingi kami. Akh sayang, batinku. informasi tersebut hanya membuat kami penasaran saja. Semoga suatu saat nanti kita bisa kembali ke sini dan mampir ke pulau Belang.

Di depan Cottage kami, ada gubug kecil yang terletak di tengah-tengah padang rumput. Gubug kecil milik nelayan suku Bajo yang mencari ikan di pulau Paserang. di gubug kecil itu, mereka bisa beristirahat, makan, dan shalat. Di samping gubug itu, kawan-kawan kami sedang membakar ikan Sebelah yang ditangkap tadi pagi. Bumbu-bumbunya kami minta kepada nelayan Suku Bajo tersebut. Mereka selalu datang setiap pagi ke Paserang dan kembali ke Pulau Sumbawa di siang hari. Gubug suku bajo ini memang sengaja dibiarkan oleh pihak pengelola. “yang penting mereka tidak mengganggu kami,” kata Ibu Tendri.

Saat perahu kami meninggalkan pulau paserang, Agus sang nakoda perahu menanyai seperti apa yang telah diperingatkan oleh Ibu Tendri. Matanya menyelidik. Tatapan tajam. “Kalian ditarik bayaran ngak?kalau kalian ditarik bayaran oleh Mereka, laporkan kepada kami,” agus memastikan bahwa kami benar-benar tak ditarik bayaran. “Mereka itu dah mangkir. Kerjasama sejak dulu tapi baru dibangun sekarang,” imbuhnya tegas. Papan informasi di Pulau Paserang memang menunjukkan bahwa PT NOP menjadi pengelola satu-satunya di Paserang sejak tahun 2012.

pertanyaan-perntayaan yang membuatku bingung. Bukankah sah sah saja seandainya pihak pengelola pulau paserang menarik bayaran kepada wisatawan yang menginap di Cottage-nya. Kan mereka yang membangun. Akh saya semakin tak mengerti. Ada apa?.

Pak Agus bercerita bahwa dulunya dia juga pegawai di PT NOP. “Setahun lalu, saya juga bekerja di sana pak, tapi saya keluar. Ngak enak, saya harus menginap di paserang. keluarga saya di sumbawa Pulang seminggu sekali, gajinya pun kecil. Tak cocoknya mas, makanya saya lebih baik sewa perahu aja” katanya kepada kami saat perahu kami melintasi selat alas meninggalkan Pulau Paserang. setelah itu kami cenderung diam sesekali bercanda. Memotret indahnya pasir putih sumbawa dan memandangi pulau Paserang yang akan kami tinggalkan

Paserang. Saya sudah jatuh cinta dengan pulau ini sejak berada di tengah laut. Menyaksikan indahnya mentari sore dari atas laut. Baru kali ini saya menyaksikan mentari terbenam langsung dari tengah laut. Di perairan Selat Alas. Bersama 7 kawan kami. Berlabuh di pulau ini, saya semakin cinta dengan pulau ini. Pulau dengan bukitnya dengan rumput rumput meranggas berwarna kecoklatan dengan ditaburi cahaya senja yang indah.

Pulau Paserang termasuk salah satu pulau dari delapan pulau-pulau yang berada di selat Alas yang lebih dikenal dengan sebutan Gili Balu’. Gili Balu’ itu antara lain P. Belang, P. Kambing, Paserang, Kenawa, Ular, Mandiki, Namo dan Kalong. Gili Balu’ akan dikembangkan menjadi calon kawasan Konservasi perairan daerah pemerintah daerah kabupten Sumbawa Barat (KSB).

Dulu sebelum lalu lintas Lombok Sumbawa menggunakan Kapal Ferry, Paserang pernah menjadi pulau barter-tempat bertemunya pedagang dari pulau Lombok dan pulau Sumbawa. Hingga sekarang, pulau ini dikenal dengan sebutan pulau Pasar/Paserang. Pulau Paserang ini tak berpenghuni.

Kesunyian akan hilang seiring dengan majunya parisawata di Nusa Tenggara Barat. Pemerintah Provinsi NTB sedang giat-giatnya meningkatkan jumlah wisatawan yang akan datang ke NTB. Target 1 juta wisatawan telah terlewati beberapa tahun lalu. Beberapa penerbangan internasional digalakkan. Lombok-Perth dan Lombok-Malaysia. Sayang, pada bulan Oktober 2014, penerbangan Lombok Pert terhenti. Perusahaan penerbangan Jetstar asal australia mengaku rugi karena rendahnya tingkat keterisian pesawat. Pemerintah menilai bahwa perusahaan penerbangan itu mengalami kesulitan keuangan bukan karena load factor. Penutupan penerbangan Lombok Perth berpengaruh kepada jumlah wisatawan asal Australia.

Bahkan, Pemerintah daerah akan membantu Jetstar dengan mengalokasikan anggaran sebesar Rp1 miliar sebagai bentuk kerja sama promosi pariwisata melalui perluasan basis pasar.

Namun manajemen Jetstar tetap akan menutup rute Lombok Perth. Pemerintah berusaha menggaet perusahaan lain seperti Garuda dll. Semoga ini menjadi titik terang solusi penerbangan internasional di lombok.

Wisatawan Australia menganggap bahwa Lombok adalah sister island-Bali 1980an. Lombok masih alami dengan alam yang masih terjaga. Kealamian Itulah yang menjadi alasan kenapa Lombok punya daya tarik tersendiri daripada Bali yang terlalu overexploitasi.

Majunya pariwisata lombok juga berpengaruh terhadap pulau-pulau tak berpenghuni termasuk di daerah perairan alas ini. Investor-investor akan melirik pulau-pulau yang masih perawan.

Pulau-pulau tak berpenghuni itu akan dikelola secara profesional. Pemerintah mendapatkan hak penyewaanya. Simbiosis mutualisme. Pulau Kenawa akan dikelola oleh PT ESL sedangkan Pulau Paserang dikelola oleh PT. NOP Perwakilan NTB (Nusantara Oriental Permai).

Sebuah Resor “Paradise Ressort dan Cottage” akan dikembangkan di Paserang dengan 350 Cottage termasuk 90 Cottage dengan konsep Water Villa. Paserang akan dikembangkan menjadi “Maldives” Indonesia. Ada enam Cottage yang sudah dibangun. Kayu-kayu Cottage dan pekerjanya dibawa langsung dari tomohon. Inilah bangunan satu-satunya yang benar asli dari Tomohon yang ada di sumbawa.

Paserang akan menjadi salah satu daya tarik wisatawan. Pulau Paserang berbentuk bulat dengan sebuah bukit yang dikelilingi barisan pasir putih. Terumbu karang yang cantik di sekitar dermaga.Tak hanya itu, Paserang memiliki daya tarik dengan konsep “padang savana “ nya. Rumput-rumput kering meranggas berwarna kecoklatan memanjakan mata.

Semburat warna jingga kemerahan menghiasi langit pulau Paserang. Seorang perempuan setengah baya dan dan beberapa pekerja menyambut kami dan mempersilahkan untuk menempati dua Cottage. Rombongan kami berjumlah 17 orang. Seorang Perempuan itu adalah Tendri Niwik. Direktur PT NOP NTB.

Rombongan kami sebanyak 17 orang akan menginap di dua Cottage malam ini secara gratis. Ya gratis. Hadiah terindah dalam perjalanan kami malam ini. Cottage ini masih gratis karena memang belum dibuka untuk umum. Terima kasih Bu Tendri. Kami akan kembali insyaalloh.

Alhamdulillah malam ini akan menginap di Cottage tanpa springbed setelah sebelumnya kami sudah tidur di atas pasir pototano. Cottage ini belum ada fasilitas air tawar maupun segala fasilitas yang biasanya tersedia di cottage.walaupun seperti itu, fasilitas penerangan sudah ada di pulau ini. ini lah yang terpenting terutama untuk mengecharge alat komukasi kami yang sudah mati.

air tawar di Paserang sangat mahal karena harus dibawa dari pulau Sumbawa. Air tawar hanya ada di bak penampungan yang hanya dipergunakan untuk keperluan tertentu seperti berwudhu. Air untuk mandi dan buang air besar kami menggunakan air laut.

Kami melewati malam di pelataran Cottage dengan bermain kartu dan bernyanyi. Kecuali jefry dan Daffa yang akan melewati malam di paserang di pinggir pantai dengan api unggun yang menyala-nyala.

Pagi-pagi buta, langit-langit Sumbawa dihiasi semburan cahaya merah matahari terbit. Sinarnya bersinar menembus kamar Cottage kami. Melewati sela-sela padang savana meranggas kecoklatan. banyak cara kami melewati pagi ini dengan saling bernarsia ria, berteriak-teriak tidak jelas di antara padang savana paserang. Merasakan deburan ombak dengan semilir angin di pagi hari.

Pagi ini, kami menaiki bukit paserang. Dari Puncak bukit, kami lebih leluasa menikmati keindahan pulau paserang dengan padang savananya. Mentari pagi yang memendarkan warna merah menyelimuti paserang pagi ini. saya membayangkan kalau Paradise Ressort dan Cottage sudah semuanya selesai dibangun. Tanah lapang dan pantai pesisir barat Paserang akan dipenuhi Cottage dengan berbagai fasilitas. Dalam hati saya berfikir agar bisa kembali setelah pembangunannya selesai.

Mencari Ikan

Mencari Ikan

Di tepian pantai, dua kawan saya, Jefry dan Daffa sedang berjalan seperti sedang menginjak sesuatu di dalam air. Pagi ini air laut sedang surut sehingga terumbu karang-terumbu karang yang biasanya di dalam laut muncul ke permukaan. Jefry dan Daffa mencari sesuatu dibalik terumbu karang : ikan Sebelah.

Di Pinggiran pantai, saya hanya memperhatikan jefry dan daffa yang sedang mencari ikan sebelah. Beberapa kali Daffa menginjak pasir-pasir agak keras. Jeffry duduk dengan cara jongkok tepat di samping Daffa. Ya begitulah cara mencari ikan sebelah: menginjak-nginjak pasir. Kawan-kawan lain siap siaga untuk mengambil ikan yang yang biasa bersembunyi di balik pasir itu.

Beberapa Daffa dan Jefry berpindah-pindah tempat. Lumayan cukup susah menangkap ikan bertubuh licin. Perjuangan jefry akhirnya terbayarkan setelah beberapa kali berpindah. Ikan berwarna belang dengan bentuk yang cukup unik. Separuhnya badannya berkulit gelap, separuhnya lagi tanpa kulit dengan warna dasar putih. Persis seperti ikan yang separuhnya diambil kulitnya. Inilah keunikan ikan sebelah.

Flatfish atau Ikan sebelah hidup seperti bunglon dengan menyesuaikan warna tubuhnya dengan lingkungannya. Ikan sebelah sering disebut juga sebutan ikan sisa nabi. Orang-orang nelayan Bajo yang saya temui di sana juga menyebutnya sebagai ikan Sisa Nabi.

Alkisah, Nabi musa akan bertemu dengan Nabi Hidir di perbatasan dua laut. Keberadaan Nabi Hidir ditandai dengan hidupnya ikan yang separuh badannya sudah dimakan oleh Nabi Musa tersebut. Itu terjadi saat Nabi Musa beristirahat setelah melakukan perjalanan panjang. Nabi Musa dan pembantunya beristirahat dan kemudian memakan bekal yang dibawanya dari tadi termasuk ikan yang baru dimakan separuhnya. Setelah melepas lelah, Nabi Musa dan Pembantu melanjutkan perjalanan kembali.

Hari ini, di pulau paserang ini saya baru merasakan lezatnya ikan sebelah atau ikan sisa nabi ini. dagingnya sedikit kenyal tapi empuk. Cara memakannya unik: dimulai dari tubuh terluar kedalam seperti seorang yang sedang menguliti daging kambing. Bagi kawan-kawan yang sempat menginap di Paserang, sempatkanlah merasakan lezatnya daging ikan sebelah ini.

Pagi ini, kami akan menikmati hamparan terumbu karang pulau Paserang. Sejak pagi, sebelum kami snorkling. Saya sudah melihat hamparan terumbu karang yang muncul di permukaan. Bagi yang tak ingin berbasah-basahan kita bisa menikmati terumbu karang dari atas Dermaga. Paserang memang menawarkan wisata bahari yang sangat memukau. Terumbu karangnya beragam dan dangkal. Saking dangkalnya, jika kita snorkling kurang berhati-hati, anggota badan kita bisa terluka terkena goresan terumbu karang yang terlalu dangkal.

seorang anak laki-laki Ibu Tendri Niwik, Oki namanya. Dia sedang duduk bersama pekerja di atas darmaga. Oki banyak bercerita tentang keadaan pulau paserang serta progres pembangunan resort di paserang. pagi itu, kami lebih banyak menikmati indahnya terumbu karang di sekitar dermaga. Melihat kawan-kawan kami yang mengejar penyu yang berenang di Merasakan deburan ombaknya. Melihat arus laut yang memutar-mutar tak jauh dari tempat snorkling. Arus laut yang cukup membayakan bagi snorkler pemula seperti saya. Sehingga para snorkler pemula tak sadar bahwa dia telah dibawa ke tengah laut.

Dari Dermaga, saya merasakan desiran angin laut sambil memandangi pulau kambing dan pulau Belang yang bersebelahan. di Pulau Belang banyak danau-danau air asin yang berada di tengah-tengah pulau. Itu lah penjelasan yang kami dapatkan dari anak perempuan Ibu Tendri. Bahkan kami disuruh agar menyempatkan pergi ke pulau belang melihat laguna-lagunanya dan merasakan masakan-masakan lautnya yang lezatnya. Akh mungkin suatu saat saya bisa mengunjungi laguna-laguna seperti yang disarankan.

Saat matahari sedang teriknya, Ibu Tendri Niwik, Direktur PT NOP mendekati kami yang sedang berkemas-kemas untuk meninggalkan paserang. Bu Tendri datang bersama anak perempuannya dengan topi khas pantainya. Beliau share dan cerita banyak kepada rombongan kami. Beliau bercerita bahwa Cottage ini masih gratis karena memang dibuka kepada umum. Beliau juga berpesan bahwa “kalau ada orang atau wartawan bertanya apakah kami menarik tarif. Bilang aja tidak. Kami sampai dengan saat ini belum menarik bayaran kepada wisatawan yang menginap di tempat kami, imbuhnya.

saat perahu kami meninggalkan pulau paserang, Agus sang nakoda perahu menanyai seperti apa yang telah diperingatkan oleh Ibu Tendri. Kalian ditarik bayaran tidak?kalau kalian ditarik bayaran oleh Mereka, laporkan kepada kami. Ada pertanyaan-perntayaan yang membuatku bingung. Bukankah sebetulnya seandainya pihak pengelola pulau paserang menarik bayaran kepada wisatawan yang menginap di Cottage-nya. Tapi kenapa seakan-akan ketika pihak pengelola menarik bayaran, mereka akan disalahkan bahkan dilaporkan. Ada apa?..

Pak Agus bercerita bahwa dulunya dia juga pegawai di PT NOP. “Setahun lalu, saya juga bekerja di situ pak, tapi saya keluar. Ngak enak, saya harus menginap di paserang. keluarga saya di sumbawa Pulang seminggu sekali, gajinya pun kecil. Tak cocoknya mas,” katanya kepada kami saat perahu kami melintasi selat alas meninggalkan Pulau Paserang.

Terombang ambing menuju Paserang

IMG_0173

Matahari pukul 01.30 WITA Pulau Kenawa benar-benar menyengat. Teriknya matahari bercampur dengan hembusan angin laut dari sisi pulau Sumbawa. Campuran panas dan angin membuat sensasi tersendiri. Tak terlalu terasa panas tapi akan cepat membuat kulit gosong sekaligus cepat haus. Padang rumput yang tumbuh rapi tak menafikan teriknya sang mentari. Bahkan, rumput-rumput itu menjadi daya tarik tersendiri bagi dua cewek: Fitria Agustina dan Echie.

Mas cader, tolong fotoin kita-kita, kata mbak Fitria saat melihat saya baru saja selesai snorkling dan berjalan ke arah mereka. Keindahan pola rumput-rumput kenawa telah membuat mereka tak mempan dengan panasnya matahari di siang bolong. Mereka berdua seakan tak mengindahkan panasnya sang mentari di siang ini. mereka berpose secara bergantian : duduk, berdiri, bersama rerumputan hijau dengan latar belakang bukit kenawa yang kering meranggas.

Ketika mereka berdiri terlalu lama mereka berseru-seru kepanasan karena kaki-kaki yang bersentuhan langsung dengan tanah Kenawa.

Menjelang pukul 02.00 WITA, sebagian teman-teman sudah selesai snorkling. Sebagian beristirahat di berugak bolong, sebagian yang lain berjalan menyusuri padang savana Kenawa hingga ke Puncak Bukit di Ujung Utara pulau.

Mentari terbit di pulau Paserang

Mentari terbit di Padang Savana pulau Paserang

Di salah satu berugak yang langsung berbatasan dengan pantai barat Kenawa, ada seseorang yang sedang melakukan gerakan shalat. Tak jauh dari Berugak, Daffa tiduran santai di dalam hammock yang tergantung di dahan pohon Kenawa yang rindang. Saya juga belum shalat, batinku. Saya bergegas berwudhu dengan air laut tempat kami snorkling. Di seberang sana, Pulau Sumbawa bertabur rumput kering meranggas kecoklatan. Angin berhembus kencang ke segala arah. Sajadah yang sedianya digunakan untuk alas tak bisa digunakan karena angin-angin laut berhembus dengan kencangnya. Akhirnya, saya shalat di atas kayu-kayu berugak dengan tanpa alas sajadah.

Kapan berangkat ke Paserang, kata seseorang di antara kami. Trips Kenawa sudah selesai. Kami harus segera beranjak ke Paserang. Setidaknya kami bisa menikmati suasana matahari tenggelam di pulau yang penuh dengan padang rumput Paserang yang masih terjaga.

Mbak Ifath menghubungi mas agus sang boatman. Mas Agus menjadi orang yang paling kami nantikan. kami beristirahat sambil lalu menunggu. Cukup lama, tapi tak juga datang. Sudah satu jam kami nunggu. Kami sudah siap-siap. Tas backpack sudah ditaruh di pesisir pantai. Matahari bergeser semakin ke barat, awan putih menghalangi sinarnya. Pak agus datang dan langsung menyandarkan perahunya. Kloter pertama berangkat. saya tertinggal dari Kloter pertama. Harapan untuk hunting sunset di Paserang pun menguap bersama hembusan angin laut.

Begadang di Cottage Paserang (terima kasih bu Tendri yang ngasih tumpangan gratis)

Begadang di Cottage Paserang (terima kasih bu Tendri yang ngasih tumpangan gratis)

Perkiraan kami, Paserang bisa ditempuh dalam waktu satu jam PP. ternyata dugaan saya meleset. Sudah satu jam kami menunggu. Perahu itu juga belum juga datang. Matahari semakin bersembunyi dalam awan putih kelabu. Awan putih kelabu tidak selalu membawa nasib kelabu. Setidaknya untuk saat ini. walaupun pak Agus yang kami tunggu belum datang, kami mendapatkan tawaran makanan dari rombongan lain. Mereka memanggil-manggil kami agar bergabung ikut begibung-makan bersama di salah satu berugak.

Kami seperti anak ayam yang dipanggil induknya. Dalam sekejap kami berlarian menuju berugak yang bagian belakang terbuka langsung berhadapan padang savana Kenawa . Saya, Jefry, Tendou, Philips ikut-ikutan makan sambil berdiri. Menu ikan sarden menjadi bumbu penyemangat. Kurang lebih 15 orang yang ikut begibung. Berugak kelebihan muatan. Sebagian duduk, sebagian berdiri di luar berugak.

Perahu yang kami tunggu belum juga muncul. Kami menyempatkan untuk shalat asar terlebih dahulu di salah satu berugak. Selesai sembahyang, kami melihat kapal wisatawan yang hendak bersandar. Dermaga kayu di Kenawa hilang diterjang ombak. Nahkoda itu kebingungan, pengunjung keluar berhamburan lengkap dengan perlengkapan snorkling. Seorang anak buah kapal melemparkan jangkar sekenanya ke lokasi bekas dermaga. Tendou seketika menjadi geram melihat perilaku orang-orang yang katanya pecinta alam, alisnya beradu.

Three Cottage under the Hill of Paserang

Three Cottage under the Hill of Paserang

Mulutnya mengeluarkan kata amarah yang sangat kepada kami. “katanya mereka pecinta alam, tapi kug mereka malah merusak alam.” Dia seakan tidak terima, amarahnya masih meluap-luap. Saya hanya mengangguk “ya begitu lah mereka. Kemudian, Saya dan Jefry hanya terdiam menunggu apa-apa yang akan diucapkannya. Namun, amarah itu seakan sirna dibawa oleh gadis-gadis jepang berbikini. Pandangan matanya tertuju pada gadis jepang yang berbikini. Mas cader, ayo difoto, katanya. “Males akh, kamera saya udah tak masukkan ke dalam tas, sanggahku.” Dia tak mendebatku.

Saya berjalan menyusuri pesisir pantai, dua orang mendekati saya hendak meminjam perlengkapan snorkling. “Mas, boleh pinjam alat snorklingnya untuk kawan saya, dia datang dari Jawa tapi kami ngak membawa alat snorkling,” katanya kepada saya. “Maaf mas, saya sedang menunggu jemputan kapal ke Paserang mas. Ya sayang sekali, kalau sudah ke sini tapi tidak membawa alat snorkling. Di kenawa tak ada penyewaan alat snorkling, kataku sambil berjalan ke arah pantai.

Perahu kecil yang kami tunggu-tunggu akhirnya muncul juga dari arah Barat daya. Pulau Paserang terletak di arah barat daya jika dilihat dari pulau Kenawa. “Waktu tempuh ke Paserang satu jam karena melawan arus,” katanya menjawab kebimbangan kami.

Paserang adalah tujuan kami. Awan kelabu berjalan beriringan menggelantung di langit selat alas. Perahu kami sudah mengaung. Paserang terlihat dekat. Perahu berjalan dengan suasana ombak yang bergelombang. Semakin ke tengah, semakin bergelombang. Kalau dilukiskan Paserang berada di tengah-tengah selat alas yang memisahkan Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Untuk mencapainya. Kami harus melawan arus laut yang ganas.

The Cottage

The Cottage

Begitu tiba di tengah laut, saya mulai ketakutan. Pulau Kenawa dan Sumbawa tak lagi jadi penghalang ganasnya ombak di sore hari. Saya berada di tengah. Mbak Echie di samping saya. Philips dan seorang Nahkoda di ujung depan perahu. Tendou, Daffa dan jefry di ujung yang lain. Perahu terombang-ambing. Mesin meraung-raung. Laju kapal melambat menyesuaikan irama sang ombak. Saat ombak besar datang, perahu melambat agar tidak langsung melawan ombak. Ikuti iramanya. Nikmati permainannya. Semakin lama semakin terombang ambing.

Paserang yang dekat terasa jauh. Air laut tumpah sebagian ke dalam perahu. Philips panik. Philips bergegas memakai pelampung. Saya juga takut. Pelampungku sempat ku lirik yang tergeletak di lambung kapal. Mbak Echie juga melirik pelampung. Kami bertiga adalah termasuk rombongan yang tak bisa berenang.

Ku berusaha untuk bersikap sok tenang. Di dalam hati saya mengumpat “mengapa saya ikut petualangan yang seperti ini, bagaimana kalau perahu ini terbalik di tengah laut. Saya seakan menyesal ikut petualangan yang mempertaruhkan nyawa. Ku bershalawat. Istriku yang sedang hamil muda terngiang-ngiang. Orang tuaku terlintas di dalam fikiranku. Kenapa aku tak pamit. Kenapa aku harus ikut ini, kenapa kenapa?. Semua pertanyaan pertanyaan muncul seketika.

terumbu karang paserang yang muncul saat air surut

terumbu karang paserang yang muncul saat air surut

Kalau kami terhempas gelombang pasang. Ntah apa jadinya kami. Yang pasti saya dan mbak Echie akan rebutan pelampung. Kekawatiran-kekawatiran itu muncul hinggap di fikiranku. Di kejauahan sana, Paserang diliputi oleh rumput kecoklatan yang ditaburi senja. Cantik. Sayang, kecantikan semburat senja bercampur dengan percikan ombak yang menggoyang-goyang perahu kami.

Mendekati pulau Paserang, perahu kami semakin jinak, ombaknya berangsung-angsur tenang. Kamera yang sedari tidur terbungkus rapat di tas anti air menyeruak. Matahari hampir tenggelam. Akh senang rasanya. Setelah melewati dahsyatnya ombak selat alas, kami bisa menikmati indahnya matahari tenggelam dari tengah laut Selat Alas. Seketika hatiku senang tak terkira. Tak mungkin saya bisa menikmati keindahan ini tanpa melalui badai. Badai berlalu dan alam pun semakin indah.

Menyusuri Padang Savana Pulau Kenawa

Hiruk pikuk Poto tano yang terhenti

Hiruk pikuk Poto tano yang terhenti

Jembatan Pelabuhan Poto Tano

Jembatan Pelabuhan Poto Tano

Pagi ini kami harus segera beranjak menuju perjalanan selanjutnya yaitu Kenawa dan Paserang. Kalau tadi malam kami melewati jalan setapak, maka pagi ini kami akan berjalan menyusuri pesisir pantai yang membentang dari Mercusuar hingga ke Pelabuhan Tano, melewati padang rumput bunga berwarna kuning kecoklatan. Padang rumput berduri yang biasanya tumbuh di pesisir pantai. Langit pagi ini begitu cerah dengan lembayung senja. Awan terbang rendah di atas pelabuhan Poto Tano.

Pelabuhan Poto Tano berada di kawasan teluk Tano yang dikelilingi perbukitan-perbukitan berwarna kecoklatan. Poto Tano pagi ini terdiam, ombak pun tenang dengan diliputi pagi yang tenang. Pelabuhan Poto Tano nampak sepi dan lengang menawarkan pesona tersendiri. Kalau dilihat dari atas bukit, Poto tano akan menawarkan panorama indah di kawasan teluk yang berbentuk seperti bulan sabit separuh lingkaran. Matahari terbit muncul di balik bukit-bukit sumbawa dengan temaram warna jingga .

Bunga-bunga yang berbunga di bulan Oktober- Desember mulai bermunculan dengan aneka warna. Kebanyakan didominasi warna merah sepadan dengan tiang-tiang koridor jalan yang dicat berwarna merah. Di kejauhan sana, Desa Poto tano lengkap lanscape bukit kecoklatannya terlihat asri. Saya menyukai Pelabuhan Poto tano di waktu pagi pada bulan oktober. Di saat bunga itu sedang bermekaran. Saat air laut sedang surutnya. Hiruk pikuk pelabuhan tak kami jumpai di pelabuhan ini. ini lah pelabuhan terapik yang pernah saya liat dengan lanscape yang memanjakan mata.

 

Melintasi selat alas

Melintasi selat alas

Seeorang lelaki setengah baya dengan badannya yang tegap mendekati saya yang berjalan seorang diri dengan setengah buru-buru mengejar kawan yang sudah tiba duluan di sebuah warung di pojokan terminal pelabuhan. “mas, ojek mas, katanya. Dia kemudian meninggalkan saya setelah melihat gelengan kepalaku. Kami akan menyeberang ke Pulau Kenawa dan Paserang menggunakan satu kapal untuk mengangkut rombongan kami yang berjumlah 17 orang. Daya tampung perahu tak cukup mengangkut kami sekaligus. Sehingga kami diangkut secara bergantian. Rencananya kami akan menginap di Pulau Paserang. Tujuan pertama kami adalah Kenawa. Si Pulau Tikus itu.

untuk mencapai Pulau Kenawa satu-satunya cara adalah menyewa perahu. Tarif sewa perahu biasanya tergantung banyaknya penumpang. Bisa Rp150.000 hingga Rp350.000 dengan waktu tempuh sekitar 50 menit. Sepanjang perjalanan dari pelabuhan hingga pulau Kenawa, saya hanya melihat bukit-bukit gersang kecoklatan, pasir-pasir putih dan air laut yang berwarna biru dengan gradasi warnanya. Dari kejauhan, Pulau Kenawa menawarkan pesonanya dengan gradasi warna air lautnya. Meneduhkan.

Menginjakkan kaki di Pulau Kenawa, pulau ini seakan memperjelas tentang keberadaannya. Gersang dan tak berpenghuni. Bukitnya gundul berwarna kecoklatan. begitu kontras dengan pemandangan alamnya. Pulau Kenawa seperti pulau telah lama ditinggal pemiliknya. Beberapa berugak berdiri di sepanjang pesisir pulau. Bahkan, hampir mengelilingi pulau ini. Berugak-berugak itu katanya dibangun oleh pemerintah kemudian dibiarkan begitu saja. sebagian atapnya sudah banyak yang bolong. Terbang bersama angin. Satu-satunya tower penampung airnya karatan. Penampung airnya tak ada sama sekali. Kosong tak berbekas.

Pulau Kenawa sudah disewakan kepada perusahaan asal Swedia yang bernama PT. Eco Solutions Lombok (ESL) selama 30 tahun. Tapi, hingga saat ini Perusahaan Swedia ini juga belum beroperasi. Pulau dengan luas 13,8 hektar ini memiliki panorama alam yang indah menjadi incaran para investor: Bukit yang berada di sisi utara pulau, pasir putih dengan terumbu karang yang masih alami.

 

Bersiap-siap landing di pulau Kenawa

Bersiap-siap landing di pulau Kenawa

Investor-investor anyar dalam dunia pariwisata di Provinsi Nusa Tenggara Barat memang banyak. Pariwisata di Lombok dan Sumbawa sedang tumbuh-tumbuhnya. Target satu juta wisatawan yang ditergetkan oleh Gubernur sudah tercapai beberapa tahun yang lalu. Pemerintah-pemerintah daerah belum siap. Investor yang datang, langsung diberikan hak pengelolaan. Ijin-ijin diobral. Conflict of interest pun tak terelakkan. Perwakilan daerah pun ikut-ikutan meradang. “Bupati sebaiknya tidak mengobral obral perijinan pengelolaan pulau, kata perwakilan rakyat di salah satu media lokal. Lihat pulau-pulau ini ijin sudah dikeluarkan tapi tak ada aktivitas sama sekali, tambahnya.” Dan hari ini, saya menyaksikan geliat Pulau Kenawa yang jalan di tempat.

Jika kita berada di tengah-tengah pulau Kenawa atau berada di atas bukit. Kita akan memandangi rerumputan kering berwarna kecoklatan bercampur dengan warna hijau. Bukit Kenawa itu gersang Meranggas bercampur dengan teriknya panas mentari. Tak ada rumput sekalipun. Pulau kenawa pernah terbakar tiga bulan lalu sekitar tanggal 3 agustus 2014. Ntah lah terbakar oleh proses kimiawi alam karena gesekan gesekan rerumputan kering atau sengaja dibakar oleh orang-orang yang tak berkepentingan.

Padang Savana Kenawa di musim kemarau tergantikan oleh bukit gundul bulat laksana rambut kepala yang dicukur plontos. Tiga bulan telah berlalu. Rerumputan itu mulai tumbuh lagi. Berpola dan berbentuk sedemikian rupa. Berbentuk satu ikatan rumput laksana padi dengan jarak yang seragam. Keajaiban yang saya saksikan dengan mata kepala sendiri. Heran bercampur takjub. Bingung hingga pertanyaan-pertanyaan liar mengalir begitu saja di fikiranku. Kug bisa?, Biarlah pola dan bentuk rumput rumput ini menggelayut di otakku. Sebagai kenangan dari pulaunya padang Savana.

terkapar kecapean di berugak

terkapar kecapean di berugak

Nama Pulau Kenawa berasal dari Pohon Kenawa yang tumbuh subur di sisi barat pulau. Pohon Kenawa ini hanya tumbuh di salah satu sisi pulau ini. Dan saya tidak menemukannya tumbuh di sisi lainnya dari pulau kenawa ini. saya tidak tahu kenapa hanya tumbuh di sisi baratnya saja. Apakah di sisi barat pulau ini relatif subur, saya juga belum bisa memastikannya, ataukah Pohon Kenawa sendiri memiliki karasteristik tersendiri sehingga hanya tumbuh bagian tertentu saja?. Pertanyaan-pertanyaan liar ini akhirnya terjawab oleh kawan saya, Baktiar Sontani namanya. Itu lah satu pengetahuan survival der-mengenal lingkungan untuk bertahan hidup, katanya saat memberikan komentar di salah satu statusku.

Di sisi barat pulau Kenawa, langsung berbatasan dengan pulau Sumbawa dengan jarak lumayan dekat. sedangkan di sisi lainnya, tak ada pulau-pulau yang berbatasan secara langsung. Pohon-pohon biasanya tumbuh subur di daerah yang lebih terlindungi seperti karena di depannya ada pulau atau gugusan atol yang menyebabkan pepohonan terlindungi dari gelombang besar.

Pulau Kenawa ini banyak dikenal dengan sebutan Pulau Tikus. Masyarakat sekitarnya lebih familiar dengan sebutan Pulau Tikus. Sebutan itu bukan karena pulau kenawa banyak dihuni oleh tikus-tikus besar. Tapi karena Pulau Kenawa terlihat seperti seekor tikus jika dilihat dari kejauhan. Baik dari Pelabuhan Poto Tano maupun dari Pulau Paserang.

Tiba di pulau ini, kami langsung tepar di Berugak salah sudut di bagian barat laut pulau Kenawa. Berbatasan langsung dengan pepohonan Kenawa di sisi barat pulau. Di Luar, Panas begitu menyengat di pulau yang hanya ditumbuhi rerumputan ini. Angin sepoi-sepoi berhembus kencang dari pepohonan Kenawa membuat kami males beranjak dari berugak yang sebagian atapnya bolong. Atapnya terbuat dari rumah adat khas Sumbawa yaitu: Bambu yang dibentuk sedemikian rupa.

 

Rerumputan Kenawa yang terlihat dari Bukit Kenawa

Rerumputan Kenawa yang terlihat dari Bukit Kenawa

Perjalanan malam dari Mataram ke Kayangan kemudian menyeberang ke Poto Tano. Di sana lah kami terdampar di sekitar Mercusuar Poto Tano dengan beralaskan pasir dan beratapkan langit dengan taburan bintang. Kami baru bisa sedikit berisitirahat jam 03.00 pagi. Capek tak terperi. Siang ini adalah pembalasannya. Istirahat melepaskan penat. Perutku mulai keroncongan, rasa kantukku terkalahkan oleh rasa lapar. Bekal satu bungkus nasi seharga Rp10.000,00 yang dibeli di Pelabuhan Poto tano. Hampir semuanya membawa bekal nasi kecuali om Jefry. Om Jefry sudah siap backpacking dengan cara survival. Wajan, kompor gas, lengkap dengan makanan dan bumbunya sudah dibawanya. Makanan-makanan itu sekarang sudah siap diracik oleh Chef Jefry.

Istirahat bergeser menjadi permainan. Permainan lebih seru daripada sekedar tidur istirahat di berugak. Entah siapa yang memulai di antara kami, Permainan kartu dimulai secara bergantian: Jendral dan 7up. Yang kalah, wajahnya dicoret-coret menggunakan arang hitam oleh yang lain. Wajah yang awalnya bersih bercampur lesu menjadi belang-belang hitam dengan menanggung malu. Yang paling sering kalah adalah Tri Prasetyo. Wajahnya paling banyak coretannya. tak lupa Sandy, kawan sepermainannya mengabadikannya dalam kamera Hp, untuk kemudian diupload di sosial media. Begitu lah kami meluapkan rasa capek. Bercanda, bermain, kemudian tertawa lepas bersama. Saling ejek adalah hal biasa, tak perlu Saling mengular benci dan memupuk kedengkian. Yang kalah maupun yang menang sama-sama tertawa. itu lah kami dan Itulah tujuannya.

IMG_0137

Pose terbaik

Pose terbaik

Di tengah-tengah berugak, Satria Ahmadi memetik-memetik gitar kesayangannya melentingkan suara emasnya dengan referensi lagu-lagu yang segudang. Di antara kami, satria adalah vokalis sekaligus gitaris dan paling banyak hafal lagu-lagu. Dangdut hingga barat, India hingga Jepang. Lagu cinta atau lagu lucu-lucu. Itulah Satria dengan segala keunikannya.

Hampir satu jam, kami beristirahat. Jefry dan Daffa sudah snorkling sejak tadi. Kami masih terkapar di salah satu berugak bolong dengan muatan manusia lebih dari selusin. Tak afdal rasanya, jauh-jauh ke Kenawa tapi tak menyicipi indahnya taman laut di Pulau Kenawa. Satu persatu di antara kami akhirnya turun nyebur ke laut lengkap perlengkapan snorkling. Hanya beberapa saja yang memang tak hobi dan tak bisa berenang. Perlengkapan snorkling kami bawa sendiri. Di Kenawa tak ada penyewaan alat snorkling. Jangan kan penyewaan alat snorkling. Pulaunya saja tak berpenghuni.

 

Begibung alias makan bersama

Begibung alias makan bersama

Keindahan varietas terumbu karang yang beranika ragam dengan corak warna warni, baik yang hard corals maupun yang soft corals seperti karang meja-table corals, Brain Corals, dan Cabbage Corals.Varietas terumbu karang yang saya temui adalah soft corals laksana pepohonan dan dedauanan yang melambai-lambai saat ada arus air atau ada ikan-ikan berenang-renang di sekitarnya. berbagai jenis ikan terumbu karang dengan warna-warna cerah memperindah taman-taman laut di sisi selatan pulau Kenawa. Ikan-ikan badut yang bersembunyi di balik anemon-anemon yang melambai-lambai. Yang mengagetkan saya adalah ini: sekumpulan ikan-ikan kecil yang jumlahnya ratusan bahkan ribuan berenang ke sana ke mari menabrakkan tubuhnya dengan tubuhku.

Ada rasa takjub saat melihatnya. Heran sekaligus bingung. Ikan apakah ini?. sayang, saya tak punya kamera underwater untuk merekam gerak-gerik ikan-ikan kecil yang menggodaku. Menabrakkan diri dengan betis, kaki dan tubuh serta pelampungku yang masih kuat menempel di tubuh ku.

Semua keindahan itu terekam dalam ingatan kami. Tak cukup itu, Indrayana juga mengabadikan momen bawah air itu. Di antara kami, ada dua orang yang membawa kamera anti air. Kanjeng Mami Rahma dan Indrayana. Mereka berdualah yang bertugas untuk mengabadikan. Baik video maupun capture foto.

Semoga ikan-ikan kecil yang menggodaku bukan karena alasan pelampungku yang masih menempel kuat di tubuhku!!!.

siap-siap meninggalkan Kenawa

siap-siap meninggalkan Kenawa

Terdampar di Pelabuhan Poto Tano

 

IMG_0046

Terdampar

Terdampar

“Mas Cader tidak ikut ke Kenawa?”, tanya Indra saat snorkling di Kecinan siang itu. Sejak dulu, saya memang pengin ke Kenawa tapi setiap kali rombongan Lombok Backpacker ke sana, saya selalu berhalangan -lebih banyak pulang kampung ke Malang. Menjenguk istri tercinta yang masih tinggal di sana. Keluarga kecilku memang sudah terbiasa LDR sejak awal mula hubungan kami.

Pertanyaan itu tak mampir sebentar saja dalam fikiranku. Mulut saya langsung reflek mengiyakan ajakan itu. “Bilang ke Mbak Ifath kalau emang mau ikut,” kata indra lagi. Maklum untuk trips Lombok Backpacker kali ini akan dipimpin Mbak Ifath, salah satu anggota Lombok Backpacker yang punya nama alias sebagai “Om Ifath”.

Lombok Backpacker, akhir-akhir ini memang sering rutin snorkling yang lokasinya tak jauh dari seputar Kota Mataram. Kalau tidak di Senggigi pasti lah di Kecinan. Minggu ini, di Kecinan, Minggu depan lagi di Senggigi. Begitu seterusnya secara bergantian. Dua tempat ini memang sama-sama memiliki terumbu karang yang cantik dengan berbagai jenis terumbu karang dan ikan. dan ini: keduanya sama-sama menjadi habitat penyu. tapi keduanya sangat berbeda dalam hal ketenangan air lautnya. Pantai Kecinan yang pantainya relatif landai identik dengan ombaknya yang tenang. Sedangkan Pantai Senggigi, Ombaknya besar dan agak dalam. karena ombak Senggigi yang besar, Senggigi sering menjadi tempat surfing. sehingga jangan heran, jika anda menjumpai para surfer dan snorkeler hidup berdampingan. semacam ada batas kasat mata antara surfer dan snorkler. ya begitu lah Senggigi

Telah disepakati bahwa rombongan akan berangkat jam 10.00 dari Mataram, Jumat Malam tanggal 24 Oktober 2014. Kita akan berkumpul di hotel Lombok Plaza, General Managernya juga salah satu anggota Lombok Backpacker, Rahma FDP. Rombongan akan dibagi dua: Grup Mobil dan Grup Motor. Total rombongan kami sebanyak 17 orang. Rombongan kami seperti para pendaki gunung. Ransel kami penuh dan besar-besar.

Kami berangkat lebih cepat dari rencana semula. Kami akan menempuh kurang lebih dua hingga tiga jam perjalanan menuju Pelabuhan Kayangan, Lombok Timur. Ini lah pertama kali saya berjalan pada malam hari dengan jarak tempuh yang lumayan jauh. Siap menembus melawan hawa dingin angin malam. Saya dan mas Yeng boncengan menggunakan sepeda motor bersama lima sepeda motor lainnya.

Saya dan Yeng didaulat untuk memimpin rombongan. Alhamdulillah, tak ada halangan sama sekali dalam perjalanan. Melipat jalan berlebur bersama sang waktu. Kami akan bertemu dengan kawan kami di Aikmel , Lombok Timur. Satria Ahmadi namanya.

wake up

wake up

pukul 11.00 kami sudah tiba di Pelabuhan Kayangan. Tri Prasetyo adalah seorang anggota polisi langsung mendekati salah satu anggota kepolisian dan terjadi obrolan singkat. Saya tidak mengerti apa yang mereka obrolkan, saya hanya melihat obrolan sesama anggota kepolisian itu terasa akrab. Sedangkan kami, Kami langsung dipersilahkan untuk parkir kendaraan di komplek polres tersebut.

Salah satu anggota kepolisian bersama Tri bergegas meninggalkan kami menuju pelabuhan. Sedangkan kami, kami sibuk berpose bersama dengan latar belakang Pelabuhan Kayangan. Mungkin rombongan kami sangat menarik perhatian. 17 orang lengkap dengan Tas Backpack. Penampilan kami seperti seorang pendaki Gunung Rinjani yang akan menghabiskan beberapa hari di perjalanan. Tas Backpack itu seakan mengisyaratkan bahwa kami adalah para pejalan.

Tiba di pintu masuk ke Pelabuhan, beberapa petugas mencegat. “kalian sudah punya tiket, kalau belum silahkan beli tiket dulu di pojok sana”, kata salah petugas kepada kami. Baru beberapa langkah kami berjalan, seorang muncul dari dalam arah pelabuhan berteriak-teriak memanggil kami. “ayo ayo lewat sini, katanya. Dalam sekejap kami berlarian menuju pintu gerbang. Petugas pelabuhan itu tak bisa melarang kami. Kami balik kanan dan langsung slonong boy tanpa ada petugas yang menegur kami.Bayangkan 17 orang masuk dengan peralatan lengkap ala Backpacker. Dalam hati saya berfikir untung teman kami ada yang anggota polisi.

IMG_9995 IMG_9986

Pintu masuk pelabuhan itu heboh dengan aksi-aksi kami. Setiap kesempatan, setiap saat, kami menyempatkan diri untuk bernarsis ria di berbagai tempat, di Pintu masuk kapal Ferry, di tangga kapal ferry, di ruang tunggu kapal ferry, di mana saja kami akan selalu rebutan untuk selalu eksis.

Kami siap meninggalkan pelabuhan Kayangan Lombok menuju Pelabuhan Poto tano di Sumbawa saat tengah malam teng 00.00.waktu yang misterius se misterius kami malam ini. Penyeberangan ini akan memakan waktu kira-kira satu hingga dua jam. Alhamdulillah, akhirnya kami bisa beristirahat dengan ditemani film Harry Potter “SORCEREER STONE-Batu Bertuah-Film pertama Harry Potter”. Suasana kapal malam itu nampak sepi, hanya beberapa nyanyian sumbang para pengamin berharap belas kasihan dari pelintas pulau. Kami asik sendiri dengan kenarsisan ala anak-anak alay. Indra dan Ifath didaulat sebagai tukang rekam kami. Bang Satria, sang Maestro di Lombok Backpacker juga terkesan acuh padahal gitar sudah dibawanya.

Peluit berbunyi sebagai tanda bahwa kapal Ferry akan merapat ke Pelabuhan Poto tano. Peluit itu sebagai tanda ketidakjelasan kami malam ini: Menginap di manakah kita?. Sebelum berangkat, saya sudah tahu kalau kita akan menginap di Mercusuar. tapi, saya tidak tau seperti apa lokasi mercusuar itu, apakah di sana ada rumah penduduk yang bisa kami tumpangi, atau sejenis homestay yang bisa kami sewa, ataukah sekedar Mercusuar aja-sebuah bangunan menara tak berpenghuni dengan sumber cahaya di puncaknya untuk membantu navigasi kapal laut.

Tujuan kami hanya satu: sumber cahaya itu. Malam sudah berganti pagi sejak kami masih di atas Kapal Ferry. Sekarang kami akan menyusuri jalanan berdebu di pinggiran bukit Poto tano. Gelap dan tak ada penerangan jalan. Beberapa tahi kerbau terlihat dari cahaya senter kawan kami. Rasa capek berbaur dengan bau keringat yang mulai bercucuran.

Siap menyeberang ke Poto Tano

Siap menyeberang ke Poto Tano

Saya hanya terpaku ketika tiba di sumber cahaya itu, menyaksikan bangunan setinggi ratusan meter dari dekat. Tak ada bangunan lain selain pasir dan Bongkahan batu besar. batu-batu itu sebagai penghalang kami sehingga tak terlihat dari pelabuhan. Ada rasa kecewa, capek, laper sekaligus mengantuk. Mbak Rahma sang GM salah hotel juga sontak kaget dengan mengusulkan untuk balik ke Pelabuhan Tano. Semua diam.

Jangankan mbak Rahma yang dah biasa di kasur empuk hotel berbintang, saya juga merasa kaget. kami tak membawa perlengkapan sedikitpun. Tas Backpack saya penuh dengan baju dan perlengkapan mandi saja. Tak ada matras, sleeping bag.

Semua langsung berinisiatif untuk mengambil posisi masing-masing. Mas Tri langsung menghamparkan materasnya di sampingku. Capek, saya mau istirahat, katanya. Sedangkan Saya, saya langsung mendelosor beralaskan pasir putih dengan beratapkan langit yang bertaburkan bintang-bintang. Ini Kamar saya, kata mbak Echie untuk menunjukkan eksistensi bahwa setiap petak pantai seukuran tubuh manusia itu punya pemilik. Begitulah kami, saling mengakui batas-batas pantai malam itu. Batas kamar adalah garis semu yang tak jelas dan gelap.

Di Pinggir pantai ini, di balik batu-batu ini, di bawah mercusuar kami mulai aktivitas. Mbak Riza membidikkan kamera untuk merekam Milky way dan taburan bintang-bintang yang membentuk pola cahaya laksana sang singa yang hendak menerkam. Yang lain mengambil posisi tidur masing-masing dengan beralaskan pasir, Matras, Kain, Sleeping Bag, sajadah dan apa saja yang bisa dijadikan alas sebagai tidur kami malam ini. Sleeping Bag Bang Satria adalah yang paling banyak muatannya, empat orang: Yeng, Philips, Fitria Agustina, dan dan Bang Satria sendiri. Sleepig bag masih cukup muat untuk nampung saya, pikirku. Ku beranjak. Mas Yeng bergeser sedikit. Saya tidur di ujung utara. Tak lama kemudian Mbak Echie ikut-ikutan tidur bersama di ujung sleeping di ujung selatan. Satu sleeping bag dengan muatan enam orang. Dua cewek dan empat cowok.

Kebersamaan dan berbagi adalah kunci perjalanan kami ini. ini motto Lombok Backpacker. Berbagi perjalanan. Mengajak bersama orang-orang yang ingin mencari keakraban dalam kebersamaan. Dalam perjalanan kami kali ini, juga ada seorang pejalan yang berasal Dari Bandung, Daffa namanya. Sudah sepuluh hari dia mengembara dengan berjalan darat dari Bandung hingga Lombok.

Di Pantai ini, di balik batu-batu, di bawah Mercusuar yang tinggi menjulang. Dalam keheningan dan kegelapan malam di tepi pantai Poto Tano, dengan ditemani lagu-lagu pengantar tidur dan petikan gitar dari Sang Maestro, Bang Satria. Lantunan musik pukul 03.00 pagi itu terbang bebas bersama hembusan angin pantai. Kami menikmatinya hingga kami semua tidur nyenyak. Dari balik batu besar itu di pinggir pantai itu, terang benderang lampu pelabuhan Poto Tano yang diselimuti oleh gelap dan pekatnya malam.

Bagi Bang Satria, music ada soulmate-nya, Perjalanan adalah urat nadinya, dan gitar adalah jantungnya. Gitar adalah pemicu kehidupannya. gitar lah yang selalu menemaninya dalam keadaan sunyi maupun ramai. Jam 03.00 di pagi hari, di dunia antah berantah dia masih setia dengan gitarnya. Tak perduli sunyi senyap atau di depan halayak ramai. Mungkin hanya ombak laut yang selalu setia mendengarkan nyanyiannya. beginilah malam yang kami lalui di pesisir pantai Poto Tano.

Pukul 05.00, Semburat cahaya jingga kemerah-merahan membangunkan kami. Mataku masih berat tapi sang awan senja membuatku bersemangat tuk melawan rasa kantuk. Di tengah laut, perahu nelayan berbunyi menderu-deru memecah kesunyian pagi ini. Sejak pagi buta, para nelayan sudah mengais rejeki. sedangkan kami, Ya kami masih tidur terlelap oleh pelukan angin laut yang dingin.

Bangun langsung mengelilingi api unggun

Bangun langsung mengelilingi api unggun

Di ujung sana, terlihat Jefry sedang menghampar kain sajadahnya mendirikan shalat subuh. Jefry adalah paling “Backpacker” dengan celana robek di bagian dilutut dan betis kakinya. Modelnya seperti celana model terbaru anak jaman sekarang. Tapi, warna kusamnya tak bisa terkamuflase . Teringat kata-katanya saat aku mengomentari celananya yang terlihat lebih “gaul” itu. “Bukan mas cader, ini bukan celana gaul, tapi emang robek sendiri dan tak dibuat-buat, katanya saat hendak berangkat dari Lombok Plaza.

Jefri, tak bisa dilihat secara kasat mata. Jefry dengan penampilannya yang “biasa”. Tapi luar biasa dalam ketaatannya kepada Penciptanya. Dia tak menomorduakan Tuhan dalam perjalanan. Tak jarang, kita akan menjumpai shalat di pinggir pantai, di atas berugak atau dimana pun itu saat tiba waktu shalat. Dia selalu mendahului shalat saat teman-teman santai dan tidur terlelap. Saat semua beranjak tidur, Jefry dan Daffa sibuk membuat perapian di pinggir pantai. Mereka begadang di depan perapian. tak tanggung-tangung, mereka begadang semalaman.

Pagi ini, semburat senja berada di balik perbukitan. Memendarkan warna merah ke segala arah. Kami sibuk melakukan aktivitas pagi seperti pipis, sikat gigi dan berwudhu untuk shalat. Ada yang berwudhu dan sikat gigi dengan bekal air tawar yang dibawanya dan ada yang menggunakan air laut. tak jarang yang tak sikat gigi pagi ini termasuk saya. Pagi ini, kami lebih banyak menikmati mentari pagi memutari perapian, bernyanyi bersama serta teriakan-teriakan keheningan pagi itu. packing-packing untuk melanjutkan perjalanan ke pulau seberang, Kenawa dan Paserang.

di sini lah kami terdampar di Mercusuar Pelabuhan Tano

di sini lah kami terdampar di Mercusuar Pelabuhan Tano

Hal yang paling susah yang saya alami selama di Pelabuhan Poto Tano adalah tempat Pipis. Laki-laki maupun perempuan sama saja. Kami melampiaskan hasrat kami di semak-semak, di balik batu. Untungnya kebiasaan buang hajat setiap pagi tak terhasratkan pagi ini. Mungkin alam sedang bersahabat dengan saya. Pagi ini, di antara kami ada yang sikat gigi dan ada yang tidak. Dan dipastikan diantara kami tidak ada yang mandi kecuali Om Jefry yang memang bersahabat dengan air laut. Dan pagi ini juga siap-siap berangkat menuju Kenawa dan Paserang.